apricothyuck

#Epilog.

Sahur membuka netra perlahan-lahan. Terlalu terang. Ia belum siap untuk ini.

Secarik senyum merekah, Sahur memandangi taman di sekeliling nya. Taman yang amat sangat Sahur kenali, taman yang selalu Sahur kunjungi bersama Mahen.

Sahur mengayuh pelan ayunan yang membawa diri, senyuman nya semakin mengembang seketika terdengar sayup-sayup kayuhan sepeda mendekat. Kayuhan yang Sahur tahu pasti siapa pemilik nya.

Seseorang tersebut berhenti tepat di belakang ayunan taman yang di duduki oleh Sahur. Sang lelaki itu berjalan mengendap ngendap serta merta menutup dua mata Sahur dengan telapak tangan.

Sontak Sahur tersenyum kian gembira. Hati nya bersorak dan berpacu kencang akan sentuhan yang Ia rindukan.

Sahur membalikkan tubuh.

Ia dapati Mahen di belakang nya tersenyum manis. Wajah mereka sangat dekat sampai-sampai sedikit jarak tersisa.

Mereka tertawa riuh. Semua rasa yang dulu sempat terkubur sangat dalam seolah muncul meledak-ledak baik untuk Mahen ataupun Sahur.

Sahur menatap Mahen sangat dalam, seraya jemari nya bergerak lembut mengusap surai lebat Mahen.

Sahur menatap tiap pahatan wajah manusia yang sangat Ia cintai.

“We finally found our own peace and freedom, and we finished the chapter, happily ever after. Maaf bikin lu nunggu lama ya, jamet?”

Mahen mengambil tangan Sahur penuh semangat. “And we finally meet again. Ayo kita pergi, Saa”

Dua anak adam tersebut berjalan menjauh, sembari saling bergenggam tangan. Cinta mereka pada akhirnya bernaung kembali.

── End.

#Kelana.

Nyatanya, euforia perjalanan mencintai Sahur harus kandas mulai dari saat ini. Berhari-hari, dan bermalam-malam pula saat yang Keenan nanti, laksana hilang berkelana dan tak akan kembali. Pucat wajah Keenan membelah keramaian bandara, di antara wajah-wajah penuh kesedihan keluarga korban kecelakaan pesawat di ikuti pengawal pribadi keluarga Keenan. Jas Keenan Ia sampirkan di lengan kiri, dasi entah lah hilang di mana, kemeja putih berantakan seraya lengan nya tergulung hingga sikut.

Sampai pada akhirnya Keenan terhenti di hadapan pusat informasi maskapai penerbangan. Ia tatap dengan netra penuh linangan air mata, layar informasi berikut nama-nama penumpang. Sungguh demi tuhan, Keenan masih berharap ini sebuah kesalahan informasi atau kesalahan data penumpang.

Keenan yakin, Sahur akan pulang. Pasti akan pulang kepadanya yang telah menunggu waktu ini hampir 6 tahun lamanya sejak Ia mengenal Sahur.

Keenan menunduk lama. Meremat erat Jas nya, sedetik kemudian menghempas Jas tersebut kuat-kuat ke lantai bandara. Kacau, hidup Keenan kacau berantakan. Keenan menangis terisak sembari menutup mulut dengan kepalan tangan. Keenan memukul dada seraya memanggil nama Sahur seolah hal tersebut menusuk jauh ke dalam sanubari, menembus nalar menyangkal seluruh kejadian ini. Hati Keenan remuk sejadi-jadi nya, Keenan tak henti memanggil nama Sahur.

Dari kejauhan, Keenan teralih akan suara Mami. Ia memanggil nama Keenan untuk menghampiri diri nya yang bahkan tak kuat lagi untuk berdiri.

Sempat, Keenan menahan tangis. Ia harus kuat di hadapan Mami. Setidaknya untuk saat seperti ini. Keenan sangat yakin, Mami juga sama terguncang nya. Mami sudah menganggap Sahur seperti anak.

Mami yang terduduk di kursi pengunjung menatap Keenan menengadah sedang Keenan membuang wajah ke arah lain. Enggan Keenan menatap wajah ranum itu, semakin di tatap Ia semakin tak berdaya.

Mami menggapai tangan kanan milik Keenan, meraih telapak nya lembut dan membawa tangan besar itu ke dalam kecupan singkat. “Nak, ini adalah rintangan yang harus kamu lalui. Kamu harus tabah, kamu harus berdiri tegap melalui semua ini”

Mami menarik badan Keenan sedikit menunduk, lalu beralih menangkup wajah Keenan sembari mengusap lembut wajah penuh air mata tersebut lalu berkata. “Mami, turut berduka cita untuk Sahur. Tolong relakan Sahur ya, Nak?”

Keenan tak kuasa, badan nya luruh berlutut di kaki Mami. Ia menangis sedalam-dalam nya memegangi kedua lutut, sementara Mami membawa Keenan dalam pelukan. Mami memejamkan mata seraya air mata nya turut runtuh. Kali ini bukan hanya dunia anak nya saja yang runtuh, hati nya pun ikut meluruh atas kejadian yang tak di duga.


Satu minggu berlalu, tak ada yang baik-baik saja dari insiden ini. Terlebih lagi, jenazah Sahur tidak di temukan. Ia sudah tenang jauh di dalam laut sana. Yang dapat di temukan hanya satu; Kamera Instax pemberian Keenan. Itu satu-satu nya, hal yang kembali pada Keenan.

Keenan menatap lekat-lekat laut di depan nya di balik pagar pembatas kapal TNI AL. Keenan mencari-cari cinta yang Ia lepas dengan segenap rasa ikhlas hati di antara deburan air Laut Jawa. Keenan mencari-cari di mana diri Sahur? Dimana lelaki yang Ia cintai itu? Kenapa tidak pulang pada nya?

Hanya Keenan yang menghadiri prosesi tabur bunga untuk menghormati korban. Beruntung, hanya Keenan satu-satunya orang yang Sahur miliki sebelum Ia benar-benar pergi.

Keenan tersenyum, sebulir air mata turun.

“Lights will guide you home. Semoga kita berdua, ditakdirkan untuk petualangan selanjutnya” ujar Keenan.

#Esok.

Dari sini lah, Sahur berharap langkah yang Ia ambil ini benar. Kadang kala pilihan nya berubah-ubah antara bertahan tetapi bermatian, pergi berarti tak akan pernah kembali.

Ini semua bak jawaban dari perjalanan Sahur selama ini. Tuhan telah mempertemukan Sahur dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidup nya: Mahen. Sahur menunduk, menatap barang-barang yang sudah tersusun dalam container barang.

Tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu kamar Sahur. “Udah?” itu Keenan.

Sahur terhenyak. Ia menggenggam erat pegangan container hitam tersebut. “Udah”

Kenyataan ini pahit. Semakin di pikirkan, semakin tidak masuk akal. Ini bukan sekedar mimpi buruk atau hal yang tidak nyata terjadi. Ini benar adanya, Sahur harus menghadapi semua ini dan tetap melanjutkan hidup.

Ayah sedang dinas keluar kota. Bunda? mustahil Ia perduli akan kepergian Sahur. Calya? belum pulang menginap dari rumah teman nya sedari 3 hari lalu.

Barang-barang yang ada dalam container nanti nya akan di kirim melalui cargo, langsung ke malang akan tetapi di pindah dahulu ke rumah Keenan.

Keenan menutup pintu belakang mobil dengan kuat, seraya berucap. “Ada yang ketinggalan? Dompet, charger, dokumen penting?”

Sahur menatap kosong bagian belakang mobil. “Ngga ada yang ketinggalan”

Sepersekian detik berikutnya, Sahur memandangi pekarangan rumah Mahen. Dalam pikir nya, Ia pasti akan sangat merindukan rumah itu berikut segala kenangan yang sudah terukir abadi di setiap sudut rumah Mahen. Selanjutnya, Sahur menatap jendela kamar Mahen tertutup rapat yang berhadapan dengan jendela kamar nya. Tempat ini, tak dapat di gambarkan oleh kalimat-kalimat karna kalimat saja tak akan cukup menggambarkan betapa indah nya kenangan dulu.

Dari arah berlawanan, tampak seorang gadis bertumpangi ojek online berteriak memanggil nama Sahur dari kejauhan. Itu Calya.

Calya turun dari motor tergesa-gesa, tangan nya gemetar. Pelupuk netra nya menampung air mata. Wajah Calya terlihat sangat letih. Berikut Ia menjinjing dua kotak makan berisi lauk pauk.

Calya menyodorkan kotak tersebut pada Sahur. “Ini ... Calya buatin rendang sama lauk kering yang bisa tahan seminggu. Takut nanti di Malang, Abang nggak sempet masak”

Dari pada mengambil kotak makan pemberian Calya, Sahur memilih untuk menarik Calya jatuh dalam pelukan nya. Sahur tak kuasa meninggal kan adik perempuan nya seperti ini.

Pada detik itu Calya langsung menangis. Calya menyembunyikan wajah nya pada bahu Sahur. Sungguh Calya tak percaya hal ini benar-benar terjadi. Bahu Calya berguncang tanpa bisa Ia tahan, bahkan hampir saja Ia tak bisa bernapas akibat menangis.

Sahur lalu melepas pelukan, sejenak mengambil kotak makan yang ada di tangan Calya dengan tangan kanan nya. Di posisi ini, Sahur berupaya menjadi sosok abang yang tegar untuk terakhir kali nya, Sahur lebih memilih untuk menahan mati-matian air mata agar tidak terlihat seperti menyesali keputusan yang Ia buat.

“Jaga diri baik-baik ya, Bu Dokter?”

Calya mengangguk lemah. “Iya. Pasti”

Kini saat nya untuk Sahur pergi.

Ia berjalan tegap memasuki mobil Keenan, meninggalkan Calya.

Saat Keenan hendak menyusul Sahur, Calya menarik lengan pemuda itu kuat seraya berkata. “Jaga Abang baik-baik. Jangan sampai ada setitik kesedihan lagi di hidup Abang. Semua ini udah cukup mengikis kebahagiaan Abang sedikit demi sedikit. Calya titip Abang ke kamu” ujar Calya penuh penekanan.

Keenan mengangguk untuk merespon lalu setelah nya benar-benar pergi meninggalkan Calya.

Mobil Keenan pun berlalu, membelah keheningan pagi itu.

Sedangkan Calya, Ia memegangi dua lutut nya yang lemas lalu meluruh begitu saja ke aspal jalan. Calya menangis bisu atas kepergian Sahur.


Sahur tiba di rumah Keenan. Ia di perintahkan Keenan untuk masuk terlebih dahulu, sementara Keenan sibuk mengambil koper berisi baju milik Sahur dalam bagasi mobil.

Dari depan pintu rumah mewah itu, berdiri Mami Keenan dengan tatapan khawatir yang terlontar untuk Sahur.

Sahur berjalan menunduk, menghadap ke Mami Keenan. Awal nya Ia berniat untuk menggapai tangan Mami Keenan dan memberi salam, akan tetapi pergerakan tak terduga terjadi, Mami Keenan membawa Sahur ke dalam pelukan.

Mami Keenan mengusap lembut surai coklat milik Sahur. “Tante turut berduka cita yaa, Sahur. Pasti ini berat sekali untuk kamu, Nak. Tapi tante yakin kamu anak yang kuat. Kamu bisa melalui ini semua”

Sesuatu bergerak tanpa aba-aba. Sahur menangis dalam pelukan Mami Keenan.

Dengan lembut Mami Keenan melepas pelukan, lalu beralih mengusap lembut pipi Sahur. “Udahan yaa nangis nya? Tante borong Ubi Cilembu buat kamu”

Sahur tersenyum tipis di sela-sela tangis. Melihat bagaimana cara Mami Keenan memperlakukan dia seperti anak sendiri.

#Litani.

Saudara, para tetangga, teman seangkatan, kaprodi, dekan dan perwakilan segenap staff Universitas Neo Dream hadir pagi ini dalam acara penyelenggaraan dan pemakaman jenazah Mahen. Tak sedikit pula mahasiswa dari kampus lain turut hadir di rumah duka.

Kini sudah pukul 09.00 pagi, pertanda tersisa 1 jam lagi jenazah Mahen masih berada di kediaman sebelum di kubur nanti.

Terduduk Sahur di hadapan tubuh kaku Mahen. Air mata Sahur tak kunjung beristirahat, Ia terus mengalir tak tertahan. Sementara tubuh ringkih milik Sahur tak sanggup berdiri, tenaga nya terkuras habis. Ia masih mengenakan jaket denim milik Keenan yang berlapis sweater berlumuran darah Mahen.

Sahur tak mau beranjak dari tempat Ia duduk, diri nya menolak pergi dari sisi Mahen. Bahkan saat sesi pemandian jenazah tadi Sahur turut memandikan, begitu juga sesi pemasangan kain kafan.

Di antara banyak nya manusia-manusia yang hadir, Sahur merasa bahwa mereka semua turut merasakan kesedihan mendalam atas kepergian Mahen. Terutama Mama dan Biru. Selama Sahur mengenal Mahen dan keluarga, baru kali ini Sahur melihat Mama Mahen begitu dekat dengan Biru.

Bagaimana tidak? Hanya mereka berdua yang bisa saling menguat kan satu sama lain di saat-saat seperti ini, bahkan seterus nya di masa depan nanti.

Di samping kiri Sahur, ada Mama Mahen yang bersandar pada bahu Biru sembari menggenggam erat lengan anak satu-satu nya kini. Mama sudah berhenti menangis, Ia hanya menatap getir jasad anak sulung nya sementara Biru tak henti-henti menenangkan Mama dengan kalimat-kalimat penenang.

Apa Biru tidak sedih atas kepergian Mahen? jelas, Biru merasa dia lah adik paling tidak berguna di dunia. Segala ketidaktahuan Biru perihal penyakit Mahen, membuat Biru mengutuk diri berkali-kali. Namun semua terlambat, Mahen sudah tidak perlu merasa sakit apa-apa lagi. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mahen, di mana segala beban hilang dan pergi.

Sebuah suara menyadarkan Sahur dari lamunan, itu Keenan. “Saa, pulang dulu. Bersih-bersih terus ntar balik lagi ke sini. Sebentar lagi Mahen bakal di kuburin, ga mungkin lu pakai jaket denim gua terus menerus”

Sahur diam. Tak ada jawaban.

Keenan mengulurkan tangan. “Sini gua bantu berdiri dan anterin lu ke rumah” tawar Keenan.

Sahur mengangguk dan berdiri dari duduk. Sekilas Ia menatap jenazah Mahen yang di tutupi kain putih. Dalam hati, Sahur berucap tungguin gue, gue bakal anter lu sampai ke tempat peristirahatan lu.


“Gua tunggu di teras. Cepet ya mandi nya, kita di kejar waktu” suara Keenan menginterupsi Sahur.

Sahur berjalan lemas naik ke lantai atas bahkan hampir terjatuh akibat tersandung. Tatapan Sahur menerawang, Ia mencari sosok Calya sedari tadi. Dimana Calya?

Saat memasuki kamar, Sahur temukan Calya tengah duduk di kasur. Atensi Sahur teralih pada baju koko putih dan bawahan yang sudah Calya siapkan.

Calya menatap Sahur lekat sebelum akhirnya berhambur memeluk Sahur. Calya membawa kepala Sahur pada bahu nya, lalu berkata “Gapapa, ini hari bahagia Kak Mahen. Abang yang sabar, ya?”

Sahur dan segenap rasa sedih kehilangan Mahen pecah kembali akibat ucapan Calya barusan. “Gue ga sanggup, Cal. Gue bahkan gatau harus ngelakuin apa selain nangis dari tadi malem”

Calya mengangguk sembari terus mengusap punggung Sahur. “Iya, Calya ngerti”

Calya melepas pelukan, lalu menangkup wajah Sahur. “Sekarang Abang mandi dulu, bersih-bersih dan pakai baju yang Calya siapin. Nangis nya di tunda dulu, Bang Mahen pasti sedih kalau liat Abang sedih. Udah dulu nangis nya, ya?” pinta Calya.

Sahur mengiyakan dan segera mengusap air mata.


Di tempat pemakaman umum, sudah tersedia satu liang lahat untuk Mahen. Tempat ini harus di tempuh dengan jarak yang cukup jauh, akibat tak ada lagi tanah kosong pada tempat pemakaman sekitar rumah.

Sesi pemakaman di mulai sesuai syariat agama islam. Ada Biru, Zuhri, Keenan, dan Sean. Sahur sendiri tidak di anjurkan untuk ikut turun ke liang lahat akibat kondisi tidak memungkinkan.

Kata-kata tak cukup untuk mengungkapkan rasa sedih mendalam Mama Mahen begitu juga Biru. Seseorang yang sudah di jaga sebaik mungkin tetap pergi meninggalkan mereka. Akan tetapi, mungkin sampai di sini lah perjalanan Mahen, ini saat nya lembaran baru untuk Biru dan Mama Mahen memperbaiki hubungan.

Zuhri sedari tadi pagi sampai saat ini tidak berhenti menangis. Ia berlari dan menangis di sepanjang jalan menuju rumah Mahen. Bagaimana tidak? Kemarin sore mereka masih berjumpa dan bercanda satu sama lain. Mengenakan baju kaos dan celana pendek, Zuhri mendatangi rumah duka di pagi buta sambil menangis menjerit-jerit.

Kini, Sahur menarik napas berat ketika liang lahat akan di tutup. Beberapa kerabat Mahen menangis keras dan menambah suasana semakin haru di tengah cerah nya cuaca hari ini.

Acara pemakaman usai setelah doa bersama, menyisakan beberapa orang terdekat dan selebihnya sudah kembali.

Tersisa teman-teman Sahur dan Mahen serta Calya dan Mama Mahen di pemakaman. Rasanya Mama tak ingin meninggalkan anak sulung nya sendirian di sini.

Mama Mahen berjongkok menyamakan posisi pada kayu nisan Mahen. “Abang nanti datang ke mimpi Mama, ya? Mama rindu. Bahkan ini belum terhitung sehari, tapi Mama rindu sama kamu”

Pecah haru kembali terjadi, orang-orang yang tersisa menangis. Sahur langsung mengusap-usap punggung Mama Mahen. Sahur saja sudah sehancur ini, apalagi Mama Mahen.

Setelah nya, semua benar-benar pergi. Tersisa Sahur sendirian di hadapan makam Mahen. Dari kejauhan, Keenan tetap memantau. Keenan ingin memberi ruang untuk Sahur dan Mahen.

“Andai kata gue tau tadi malam adalah malam terakhir dari kisah kita berdua, gue akan senenantiasa memohon sampai Tuhan luluh, untuk membuat malam itu kukuh. Perjuangan lu emang berhenti sampai di sini, tapi gue mau ucapin terima kasih udah ada di hidup gue”

#Temaram.

Sahur membawa diri langkah demi langkah, menuju rumah Mahen sepulang pertemuan dengan Aruna senja tadi.

Ia mengenakan sweater sewarna langit cerah, berikut celana panjang sewarna gelap malam.

Tepat dua hari berlalu, Sahur berucap akan angkat kaki dari rumah. Itu sungguhan. Sahur akan pindah sementara ke rumah Keenan. Bertujuan menghemat uang tabungan, walau belum di gunakan satu rupiah pun. Sahur juga belum memiliki resolusi untuk kedepan nanti, begitu banyak yang harus di timbang-timbang kembali.

Urusan Calya, hal ini berdampak buruk karena sampai sekarang Calya enggan berbicara dengan Sahur. Menurut Calya, Sahur tidak menepati janji. Janji untuk tetap tumbuh bersama, dan tidak membiarkan Calya menderita seorang diri di rumah yang tak pantas di sebut rumah itu.

“Assalamualaikum ...” Sahur berucap seiring mengetuk pintu rumah Mahen.

Di dapati Biru membuka pintu.

“Wa 'alaikumussalam. Abang di belakang” tunjuk Biru ke arah belakang.

Sahur mengangguk. Ia berjalan lurus ke arah belakang rumah Mahen. Sembari berjalan, Sahur bertanya keberadaan Mama Mahen. Biru menjawab bahwa Mama sedang sholat di kamar, sepengetahuan nya.

Tiba-tiba, ada pergerakan tak terduga dari Biru. “Lo ngapain, Biru?” tanya Sahur.

Biru terkekeh. “Hampir aja gua lupa. Bang Mahen kan mau nunjukin sesuatu, terus mata lu harus di tutup dulu” tutur Biru, sembari memasang scarf putih milik Mama Mahen.

Sahur nyengir. “Abang sama adek sama aja kelakuan nya”

Meraba-raba, Sahur di tuntun Biru melangkah ke pekarangan belakang rumah. Di sana sudah ada Mahen berselimut cahaya temaram.

Sahur di tuntun biru sampai di hadapan Mahen. “Mahen?” panggil Sahur.

Sahur mengarahkan tangan pada scarf dan melepas nya. Saat membuka mata, atensi Sahur langsung teralih pada gazebo minimalis yang sangat indah berdiri kokoh di belakang Mahen, Ia terpaku akan keindahan gazebo tersebut. Warna putih bersih, seolah lekat sempurna pada kayu-kayu gazebo buatan Mahen ini. Sepersekian detik kemudian, atensi Sahur di tarik oleh netra nan teduh milik Mahen. Tatapan teduh itu, tak pernah berubah bahkan sejak awal pertemuan mereka. Sorot kagum Sahur beri pada Mahen berikut senyuman manis. “Gue pikir bercanda”

“Kapan gua bercanda untuk urusan Sahur Ramadhan” jawab Mahen pelan hampir tak terdengar.

Mahen mempersilahkan Sahur untuk duduk terlebih dahulu di dalam gazebo bernuansa putih tersebut. Sementara Mahen di bantu oleh Biru untuk pindah dari kursi roda ke tempat duduk di sebelah Sahur.

Setelah nya Biru berniat pergi, akan tetapi di tahan oleh Sahur. “Lu ga ikut nongkrong sama anak-anak di warung Bang Jo?”

Biru tampak tertarik. “Emang di sana ada siapa aja, Sa?”

“Keenan, Zuhri, Dewa. Pokoknya semua lagi pada ngumpul kecuali kita bertiga” jawab Sahur.

Biru menggeleng. “Skip dulu. Gua harus nugas”

Setelah nya, Biru benar-benar pergi dan membiarkan mereka berbicara empat mata.

Tak henti-henti Mahen mengulas senyum, begitu juga Sahur tak henti-henti memandangi gazebo indah buatan Mahen. Buatan tangan Mahen sendiri.

Angin malam berembus menyentuh kulit mereka berdua. “Baju lo tipis banget. Kebiasaan dah. Kalo malem tuh pake baju, yang tebel ...” komentar Sahur.

Mahen tersenyum dan mengerjap kan mata. “Situ ngaca, dulu waktu sering kekurung di luar rumah sampai ketiduran di teras, pake baju tebel kaga?”

Sahur menatap Mahen sinis. “Stop bawa-bawa tingkah gue di masa lalu yang suka kekurung dan berakhir tidur di teras semalaman”

Ada satu pertanyaan sangat mengganjal. “Lo ga sepenuhnya bikin gazebo ini buat gue, kan? Buat Bunda sama Biru juga, kan?” tanya Sahur.

Mahen kesulitan menyeka setetes keringat di dahi akibat tangan yang lemah, namun segera di seka oleh Sahur. “Gazebo ini milik lu. Di peruntukkan untuk lu. Gua bangun pakai biaya dan keringat sendiri” tegas Mahen. “Walau, semenjak pakai kursi roda bukan gua lagi yang kerjain dan pakai tenaga kuli. Tapi ini, salah satu bentuk rasa bahagia gua karena Mama akhirnya luluh dan nerima kita berdua.”

Sahur tak habis pikir dengan jalan pikiran Mahen. Ia benar-benar di luar dugaan. Segala perbuatan dan tingkah laku Mahen, tak dapat di tebak atau di cegat.

“Ornamen tambahan, lampu, kayu dan cat nya juga gua pilih sendiri. Sesuai kesukaan lu, kan?” Mahen bertanya sambil terkekeh.

Sahur mendengus. “Sial. Lo tau gue luar dan dalam begini. Jadi merinding”

Gelak tawa pecah di antara dua anak adam itu. Atmosfer yang terbangun seolah menghangat, tak perduli sedingin apa angin menusuk kulit Mahen sampai ke tulang.

Sahur menatap Mahen lekat di antara cahaya temaram. Sahur memperhatikan raut wajah Mahen terlihat lelah dan pucat. Jika seperti ini, sudah pasti Mahen sedang menahan mati-matian rasa sakit di kepala.

Mahen tiba-tiba menggenggam jemari Sahur pelan dan berucap, “Pinjam bahu, kepala gua sakit hehe”

Sahur merasakan hal mengganjal menggerogoti hati dan pikiran.

“Kita masuk ke dalam rumah aja, yuk? Kasian lu kedinginan. Ngobrol di dalem aja kan hangat, gimana?” saran Sahur demikian Mahen menyamankan posisi kepala di bahu nya.

Mahen menggeleng keras.

“Disini ...” ucap Mahen pelan.

Mahen mengeratkan genggaman. “Disini aja” mata Mahen terpejam, “lu ... lebih hangat, dari rumah mana pun ...”

Sahur tersenyum getir. “Sekali aja serius, bisa?”

Hening. Tak ada jawaban.

“Lu ... bakal sama gue terus, kan?”

Mahen mengulas senyum tipis. “Gua, bakal selalu ada dalam hati lu dan gua, ada pada tiap angin yang berdesir ke arah lu” balas Mahen dengan suara semakin pelan.

Mata Sahur terpejam, air mata nya luruh tak tersuruh. Di luar kuasa Sahur, hati nya seolah rampung bak kaca pecah. Ucapan Mahen barusan berkelana bukan hanya pada hati Sahur, tapi isi kepala nya pun sudah terngiang akan kalimat itu.

Detik demi detik. Menit demi menit. Tiba-tiba Sahur merasakan genggaman tangan Mahen merenggang.

DEG!

Udara kian membeku, mendadak angin berhembus tak beraturan, pepohonan sekitar gazebo bergerak tak tentu arah, langit bergemuruh redam.

Sahur menyaksikan hal itu.

Tangan Mahen merenggang hingga terlepas sendiri nya dari genggaman Sahur.

Pandangan Sahur berubah buram di penuhi air mata pada pelupuk nya. Jantung Sahur berdetak lebih cepat dari sebelum nya.

Tahu-tahu, di saat bersamaan, darah berderai membasahi sweater senada langit cerah milik Sahur.

Tangis Sahur semakin jadi.

Ia menggenggam tangan Mahen yang membeku semakin erat.

Semakin erat Sahur menggenggam tangan Mahen, semakin banyak pula darah bercucuran.

Suara seseorang menginterupsi dari ambang pintu rumah. “Sa! Abang kenapa?????” teriak Biru.

Dengan segala kekuatan, Sahur memejamkan mata lalu perlahan beranjak berdiri menghadap Mahen. Pelan-pelan Ia melepas sandaran kepala Mahen dari bahu.

Sahur berlutut di hadapan Mahen. Tangan nya bergerak mengusap aliran darah yang keluar dari hidung dan telinga Mahen kelabakan. Tetapi darah itu terus mengalir, begitu juga air mata Sahur.

Kulit Mahen kini sedingin es batu, dada nya berhenti meghembuskan udara.

Biru tak tahan.

Ia berlari dari dapur ke arah gazebo di tengah langit bergemuruh dan angin kencang.

Jelas Sahur menatap dengan seksama, kepala Mahen terkulai lemah dengan mata terbuka. Seperti sudah tak bernyawa.

Mendadak hembusan angin kencang berdengung kuat di telinga Sahur. Menembus dan menusuk sweater tebal yang sebelum nya berwarna secerah langit, kini berlumuran darah.

Tubuh Sahur menegang. Ia pandangi dua tangan nya yang berlumuran darah milik Mahen.

Di tengah dunia Sahur yang berhenti berputar, ada Biru yang panik menjerit minta tolong. Di susul Mama Mahen tiba-tiba hilang kesadaran di dapur sana.

Sahur mendadak tak kenal dengan mata itu. Tak ada suasana teduh bahkan cahaya nya lagi. Tatapan mata Mahen kosong.

Sahur berdiri dan mundur beberapa langkah.

“Mahen ...”


Hujan berintensitas tinggi di belah oleh laju nya mobil Keenan menuju rumah sakit.

Di kursi penumpang ada Sahur yang tak henti-henti menangis dan menjerit. Sahur terus mencium dahi Mahen berharap Ia kembali bernafas.

Dari kursi depan, Bang Jo mencoba menenangkan Sahur. Keenan sendiri tak tahan mendengar isak tangis itu selama mengemudikan mobil, sungguh Keenan merasa terluka untuk kesekian kali tiap mendengar tangisan Sahur. Keenan memilih diam membisu. Keenan tak dapat berbuat banyak, Sahur tengah kalut berat.

Sampai nya di Instalasi Gawat Darurat, Sahur langsung di ambil alih oleh Keenan. Sementara Bang Jo dan perawat memindahkan Mahen masuk ke dalam ruang periksa.

Di tengah hujan deras, Keenan mencoba mengembalikan kesadaran Sahur yang kini terdiam lemas, berdiri tegak di depan pintu ruang gawat darurat.

Keenan yang melihat sweater Sahur berlumur darah, merasa tak enak untuk di pandang. Keenan segera melepas denim yang Ia kenakan dan membalut nya ke tubuh Sahur untuk menutupi noda darah tersebut.

Keenan menangkup wajah Sahur agar menghadap nya. “Saa, dengerin gua. Everything will be okay, everything will be fine. Sekarang ikut gua, kita cuci tangan lu yang berlumuran darah ini”

Saat Keenan hendak menyeret tubuh rapuh itu menjauh dari pintu ruang gawat darurat, mendadak langkah Keenan terhenti.

“Mahen, masih ada kan? Dia bakal selamat kan? Mahen, bakalan stay sama gue kan, Nan?” tanya Sahur memastikan.

Keenan tak sanggup membalikkan badan. Tatapan Sahur kini menyiksa Keenan jauh lebih dalam lagi. Diri nya menghening cukup lama, sampai akhirnya Dokter keluar dari ruang gawat darurat mendatangi mereka.

“Pasien tidak selamat akibat pembuluh darah pecah di kepala dan komplikasi ginjal. Waktu kematian 23.34 WIB. Saya selaku Dokter kepala IGD turut berbela sungkawa atas meninggal nya Mahen Andromeda. Saya permisi” Dokter berlalu pergi meninggalkan keheningan di antara mereka.

Masih dengan posisi menggenggam pergelangan tangan Sahur, cepat Keenan menarik Ia dalam pelukan. Jerit dan tangis Sahur remuk redam dalam peluk Keenan. Erat Keenan memeluk Sahur yang tak berdaya dan bahkan hampir terjatuh akibat tak sanggup lagi berpijak, setetes air mata Keenan akhirnya lolos. Keenan seolah membiarkan Sahur membagi lonjakan ombak kesedihan miliknya lewat pelukan mereka.

Di ujung ruangan, satu-satu nya manusia yang masih tegar walau sudah berlinang air mata menghubungi Biru.

“Mahen, udah pergi ke tempat yang lebih baik. Tempat di mana dia nggak merasakan pesakitan lagi” ucap Bang Jo.

#Membiru.

Tepat pukul sembilan malam, Biru baru saja usai mengurus pekerjaan kampus. Bisa dikatakan, Ia termasuk mahasiswa aktif dan pulang lewat waktu seperti ini bukan lah hal baru.

Berdiri Biru disebelah motor tua kepunyaan nya, manik selaras langit malam itu menelisik satu kantong plastik transparan berisi satu ekor ikan emas, berikut air tawar didalam nya. Biru terkekeh, melahirkan senyum manis, setakat netra nya membentuk lengkungan indah sempurna.

Biru menjinjing tinggi plastik tersebut supaya sejajar dengan wajah nya, Ia berbisik sendirian. “Kamu pasti suka sama Mama. Semoga Mama juga suka sama kamu, ya?”

Bulir demi bulir air langit turun, menetes tepat dikulit wajah anak adam yang tengah berandai-andai dapat merebut afeksi sang Mama. Biru menengadah, air tuhan turun. Bolehkah Biru meminta sesuatu?

Biru tersenyum, memandang langit kelabu diatas sana. “Mudah mudahan Mama sudi terima hadiah dari Biru. Belum seberapa memang, setidaknya ikan ini bisa jadi tempat Mama cerita kalau Mama letih, kerja banting tulang....”

Sungguh, Biru benar-benar paham perilaku Mama dan segenap perbuatan tak adil nya itu. Trauma masa lalu yang mengharuskan Mama berdamai pada keadaan adalah bagian dari konsekuensi yang berimbas pada Biru. Mau tidak mau, suka tidak suka, Biru di paksa menanggung pedih sendirian dan bersikap seolah baik-baik saja demi Mama. Demi ketenangan hidup Mama.

Selama di jalan pulang, Biru terbayang akan angan-angan jika saja Mama dapat melirik nya, memvalidasi keberadaan nya.

Serta merta, wajah dan perawakan Papa yang serupa Biru terlintas. Biru ingat betul betapa hancur nya Ia dibuang Papa pada malam itu, lebih tepat nya keluarga Biru dibuang oleh Papa dimasa lampau. Ingatan dimana Biru masih berumur 5 tahun, menangis kencang ketika Papa bertengkar hebat dengan Mama di ambang pintu rumah terputar kembali bak rentetan film lama penuh nestapa.

Ingatan kelam itu melebur hancur seiring air tuhan menetes kian deras. Semuanya lebur beriak-riak mengoyak perasaan Biru. Namun tetap Ia tahan. Biru memilih untuk memendam, walau jiwa nya tak sanggup lagi menanggung lebam lebih dalam.


“Abang mau lauk yang mana? Sini, Mama ambilkan” tawar seorang Wanita.

“Ini aja cukup kok. Sisa nya untuk Biru. Biru suka banget sama sayur lodeh buatan Mama” tolak si sulung.

Hening. Rinai hujan diluar rumah menjadi pelengkap suasana makan malam Mahen dan Mama. Mama selalu berbincang tentang banyak hal pada Mahen, termasuk perihal operasi pengangkatan tumor glioma batang otak anak sulung nya.

Tak lama kemudian, Mama menyudahi makan malam lalu bergegas menyiapkan obat-obatan yang harus Mahen konsumsi.

Mama menggapai punggung tangan Mahen, mengusap nya perlahan. “Masih sering muntah, Abang?”

Mahen menggeleng lemah. “Nggak. Cuma pusing nya makin menyiksa”

Tangan Mama beralih pada peluh tipis di pelipis Mahen dan menyekanya lembut. “Abang sembuh. Pasti sembuh. Uang hasil kerja Mama memang belum seberapa, tapi Mama percaya, Abang anak yang kuat. Andai bisa di tukar, lebih baik Mama yang menanggung penyakit ini”

Setengah mati, Mama menahan air mata.

PRAANG!!

Mendadak suara pecahan kaca menggema ke seluruh penjuru rumah. Suara pecahan tersebut berasal dari aquarium mini yang terlepas begitu saja dari genggaman seorang pemuda.

Itu Biru. Tengah berdiri menatap Mahen dan Mama penuh amarah, bahu nya bergetar. Sorot mata menyakitkan yang tak pernah Biru tampilkan, menusuk jauh Mahen dan Mama ke dasar hati mereka. Air mata dan kesedihan yang selama ini enggan biru tunjukkan, pada akhirnya runtuh. Ia meremat kuat-kuat pegangan ransel nya.

Mahen langsung berdiri dari kursi. Kerongkongan Mahen tercekat. Begitupun Mama, sama panik nya seperti Mahen. Mama seolah ingin berucap sesuatu, namun tertahan kan dan berakhir tak ada sepatah kata pun yang terlontar.

Biru mengangkat suara. “Emang gua ga pernah dianggap di keluarga ini”

Lantas Biru angkat kaki dari tempat nya berdiri menuju kamar di lantai atas. Berkali-kali Mahen memanggil nama adik nya sembari menyelamatkan satu ekor goldfish diantara pecahan-pecahan aquarium. Setelah menyelamatkan goldfish, Mahen segera menyusul Biru ke lantai atas. Mahen harus menjelaskan ini semua.

Biru menutup rapat-rapat pintu kamar sebelum Mahen berhasil masuk. Ia menangis menjerit-jerit, emosi yang Ia tahan selama ini meluap-luap bagai letusan gunung berapi. Biru melampiaskan amarah dengan memukul cermin besar dikamar nya. Dalam sekali pukulan cermin itu rampung, kayu penyanggah nya Biru banting sembarang arah. Biru menyambar segala barang yang ada disekitar nya untuk dihancurkan.

Biru menatap buku tangan nya yang berdarah-darah. Bercampur dengan senggukan, Biru berteriak penuh pesakitan. Sedang diluar kamar, Mahen merintih lirih memanggil nama Biru diantara suara pecahan-pecahan barang yang bersautan.

Mahen memerintahkan Biru untuk berhenti melukai diri nya sendiri, meminta Biru untuk membuka pintu dan memberi Mahen satu kesempatan untuk menjelaskan semua ini. Namun hasilnya nihil, Biru terus menerus membanting barang dan meneriaki Mahen dari dalam kamar untuk diam. Sumpah serapah Biru lontarkan untuk melepas seluruh amarah yang tertahankan.

Lagi, Mahen merutuki penyakitnya. Orang-orang sekeliling nya menderita akibat diri nya.

Tak lama, dengan gerakan sempoyongan membuka pintu kamar dengan kasar. Begitu Mahen tahu pintu kamar terbuka, Ia bergegas masuk tak lupa tas P3K digenggaman nya.

Biru terduduk menung di ambang kasur. Bingung. Tak tahu lagi barang apa yang harus Ia hancurkan didalam kamar nya. Biru tenggelam pada pikiran nya sendiri.

Mahen mengamati Biru seksama, dan juga kamar bak kapal pecah tersebut. Hati nya hancur lebur menyaksikan sisi lain dari Biru yang hampir tak pernah Ia perlihatkan seperti ini. Mahen mengambil posisi duduk disebelah Biru.

Saat Mahen mencoba menggapai tangan Biru yang penuh luka dan darah, tiba-tiba Biru membuat pergerakan dan beranjak dari kasur menuju lemari. Biru mengambil sesuatu dari dalam sana.

Sebuah buku tabungan.

Lambat, Biru duduk merapat disebelah Mahen, menyodorkan buku tersebut pada nya. Ia berbicara gemetar “Ambil. Gak seberapa, tapi ini tabungan dari Biru masih SMP. Lumayan untuk nutupin uang berobat Abang”

Biru mengusap air mata nya. “Cepet sembuh. Nanti Biru sama siapa kalau Abang ga ada?”

Mahen langsung menarik Biru kedalam dekapan. Mengusap-usap punggung Biru penuh sayang. Biru menangis semakin jadi.

“Nangis sepuas nya, Biru. Maafin Abang...” desis Mahen.

“Maaf karna gua ga bisa jadi tulang punggung keluarga, ga bisa gantiin posisi Papa buat lu sama Mama. Maaf juga kalau nanti gua gak sanggup lagi berjuang ngelawan penyakit ini...”

Tangan penuh darah milik Biru meremat kaos putih Mahen menjejakkan bercak darah disana. Biru memanggil Mahen, isak nya terus menerus semakin jadi.

Tak sanggup lagi berujar dan mengekspresikan betapa hancur diri nya, Biru memeluk erat-erat punggung Mahen. Ia pernah patah berkali-kali, namun yang kali ini seolah membunuh nya. Mahen tak perlu meminta maaf atas semua hal yang bukan salah nya, Biru hanya ingin Mahen fokus pada kesembuhan nya. Alasan Biru marah adalah kenapa hal sepenting ini ditutup tutupi dari Biru? Bukankah Ia juga bagian dari keluarga ini?

Sementara dilantai bawah, Mama turut menangis sembari memotong sayur mayur untuk catering esok hari. Ada satu hal yang menahan Mama untuk tidak ikut andil perihal Biru. Hal apapun itu, tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti, dilubuk hati terdalam, Mama mencintai Biru sama seperti Mama mencintai Mahen.

#Derana.

Sejak siang tadi, Keenan gelisah bukan kepalang. Tak ada titik terang akan kabar dan keberadaan Sahur sekarang. Keenan meremat erat ponsel yang sedari tadi tak berhenti menghubungi kontak Sahur.

Keenan bahkan sudah meminta bantuan Joshua, Tio dan beberapa rekan sejawat mereka untuk mencari keberadaan Sahur. Tetapi nihil. Dan kini Keenan tenggelam akan rasa takut yang menyeruak seiring emosi yang membuncah-buncah di kepala.

Seketika Keenan tersadar dari lamunan nya akibat panggilan telepon dari Sahur. Sanubarinya kacau balau, kerongkongan nya tercekat hebat. Keenan lekas mengangkat panggilan tersebut.

”.......”

Hening. Hanya ada suara nafas berderu-deru.

Lambat laun isak tangis mulai terdengar. Semakin lama semakin terdengar kencang.

“Keenan, tolongin gue! Tolongin gue” isak tangis Sahur tak terbendung lagi di sebrang sana.

“Lu dimana? Kenapa sampai nangis begini!!” jawab Keenan panik.

Terdengar sunyi di ujung sana dan juga suara panggilan terputus-putus ulah jaringan.

Tak bisa dibiarkan, segera Keenan menggapai hoodie dan kunci mobil expander miliknya di atas nakas. “SAHUR? NGOMONG YANG JELAS! PUTUS PUTUS....”

Suara bising dan getaran rel kereta api terdengar sangat keras pada speaker ponsel milik Keenan.

Sahur tetap menangis disebrang sana. Bercampur dengan senggukan, Sahur berkata pelan. “Keenan tolongin......gua.......” selanjutnya omongan Sahur terputus-putus.

“BICARA YANG JELAS BRENGSEK!” Keenan tak tahan, rasa-rasa kepala nya ingin meledak mendengar isak tangis Sahur.

Tiba-tiba panggilan terputus sepihak. Keluarlah segala sumpah serapah dari bibir ranum milik Keenan. Amarah nya membuncah-buncah.

Keenan tak mungkin sendirian, setidaknya harus beramai-ramai untuk menyelamatkan Sahur. Ya, Keenan harus menjemput Mahen dan beberapa teman nya.

Mengambang sudah pikiran-pikiran negatif. Apa Sahur sengaja di ikat di rel kereta api? Atau dia dikeroyok oleh Raka di stasiun? Keenan terus menerka-nerka sembari menyetir dengan kecepatan diatas rata-rata menuju rumah Mahen.


Sahur tertangkap basah di lorong sempit stasiun kereta api oleh rombongan Raka. Seluruh tubuh nya remuk tak berkutik, bahkan sampai sulit untuk bernapas.

Raka menghancurkan Sahur seolah tak ada hari esok. Bertubi tubu serangan Ia lancarkan pada Sahur, begitu juga teman-teman nya turut mengeroyok. Tak lupa Raka menginjak dan menendang kaki Sahur yang cidera akibat jatuh dari motor saat balapan tadi.

Serangan demi serangan dilayangkan tak henti-henti pada tubuh rapuh itu. Lebam dan lecet menghiasi seluruh wajah Sahur. Sahur menangis pilu memohon pada Raka untuk berhenti menyiksa diri nya.

Raka menjambak kasar surai cokelat Sahur agar mendongak menatap diri nya. “Gimana kalo nyawa lu gua habisin malem ini, hm?”

Sahur tak menjawab. Ia hanya bisa menangis.

“Ampun....”

“Gue minta maaf Raka..... gua mohon, stop....”

“Sakit....”

Berkali kali bibir lemah itu mengucap ampun, namun tak ada jera dari Raka.

Raka sendiri muak mendengar tangisan Sahur lantas membanting kepala sahur dengan keras pada tembok.

Seketika pandangan Sahur menggelap, Ia meringis bak pesakitan.


Didalam mobil Keenan, suasana hening dan mencekam. Mahen, Zuhri, Joshua, Tio, Bayu dan Alan larut dalam pikiran nya masing-masing.

Jangan tanya Mahen. Dia lah orang paling khawatir dan gusar mendengar kabar dari Keenan. Tentu saja Mahen sangat takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Tak henti pula Mahen berucap doa sedari tadi.

Joshua yang duduk dikursi paling depan menoleh ke arah Keenan. “Kau yakin, si Sahur di stasiun?”

“Yakin. Gua denger dengan jelas suara kereta api tadi di telepon”

“Sekarang udah jam 12 malam pasti udah tutup, Bang” sahut Zuhri dari kursi penumpang paling belakang.

Keenan menghela napas panjang. “Cara satu-satu nya adalah lewat belakang, gua udah pernah ke sana waktu blusukan tugas organisasi”

Tio kontan menyahut. “Tapi ya, dibelakang stasiun itu isi nya semak, nggak ada jalur buat balapan. Kok bisa si Raka tolol ni ajak Sahur buat balapan ke sana”

Satu mobil masih mendebatkan posisi Sahur yang sebenarnya. Mengingat tak ada kejelasan tempat keberadaan Sahur, mereka semua hanya berpaku pada suara lintasan rel kereta api yang terdengar pada sambungan telepon Keenan dan Sahur.

Kecuali Mahen.

Batin nya terus memanjatkan doa. Tak henti memanjatkan segala doa penyelamat untuk Sahur. Jujur, kondisi kini Mahen tengah memburuk dan juga beberapa hari terakhir sangat tidak stabil. Mahen bisa ikut mencari Sahur sekarang saja harus pergi mengendap-ngendap diluar kesadaran Mama dan Biru.

Alan menotice Mahen yang sedari tadi diam membisu. “Mahen, lu oke kan?”

Mahen menunduk. “Oke Bang. Gua rada pusing aja karna mikirin Sahur” jawab Mahen.

Petir bergemuruh saling bersaut-sautan. Hari menunjukkan pukul 00.26 dini hari. Keenan melajukan mobil nya dengan cepat, melesat dijalanan aspal.

Satu kilo meter didepan sana, mobil Keenan melaju memasuki jalan bertanah nan penuh rerumputan tinggi. Keenan menurunkan kecepatan mobil nya, menyusuri track bekas gesekan ban motor itu dengan seksama, dibantu oleh Joshua menelisik lingkungan sekitar.

Alan berkomentar. “Sinting. Raka kok bisa sempit banget otak nya? Ini jalan udah nggak ada penerangan sama sekali, medan nya terjal. Mana bisa dijadiin jalur balapan goblok”

Hingga mereka tiba di gerbang belakang stasiun kereta api. Sudah banyak motor-motor sport berpakiran di sana, termasuk Aerox khas kepemilikan Sahur.

Mahen mengepalkan tangan nya. “Itu motor Sahur”

Keenan menangguk. Kemudian mereka semua turun dari mobil lalu memasuki lorong gelap yang terbuka lebar dihadapan mereka.

“Sahur ni untung nggak paok-paok kali” gumam Joshua.

Sahur itu cerdas. Sebelum Ia tertangkap oleh gerombolan Raka, Sahur menjatuhkan satu persatu isi tas kuliah nya. Ada banyak sekali benda-benda yang Keenan kenal dengan jelas dan dapat dijadikan petunjuk arah keberadaan Sahur. Dibantu oleh Zuhri dan Bayu, mereka mengumpulkan benda-benda tersebut.

Sampai pada akhirnya, rombongan Keenan dan Raka bertemu, tentu Sahur turut ditemukan. Terjadilah perkelahian tak sebanding. Raka dan teman-teman nya terhitung belasan orang, timbang Keenan dan rombongan hanya bertujuh.

Mahen, Keenan dan Joshua menjadi kandidat terdepan penyerang balik Raka. Tio, Alan dan Zuhri juga ikut andil, kecuali Bayu. Bayu masih bersusah payah mengeluarkan Sahur yang setengah sadar dari peti tempat penyimpanan barang berukuran sangat kecil. Sungguh, Raka sudah melewati batas.

Dengan pengecutnya, rombongan Raka mundur kabur. Hendak dikejar oleh Keenan namun ditahan Joshua. Kondisi Sahur yang terpenting sekarang.

Bayu menggerak-gerakkan tubuh Sahur. “Sa, bangun. Ini Bayu, Sa...”

“Lu masih sadar kan? Bisa berdiri?”

Anggukan lemah menjadi respon.

Bayu memapah Sahur untuk berdiri, kemudian disusul oleh Mahen turut membantu.

“Kita ke rumah sakit sekarang. Lu harus dapet pertolongan medis” tegas Keenan.

“Nggak...gue mau pulang...” ujar Sahur pelan.

“Gak ada penolakan, harus─” ucapan Keenan dipotong oleh Sahur.

“Gua mau nya pulang! Gausah maksa!” bentak Sahur.

Jika sudah begini, mereka hanya bisa menuruti kemauan Sahur dengan syarat sesampai nya dirumah lebam ditambah luka-luka langsung di obati dan mendapat penjagaan ketat. Jaga-jaga Raka akan membuat ulah.

#Taruhan.

Sepulang mengantar Aruna ke rumah, Sahur tiba-tiba dicegat oleh segerombol lelaki bermotor. Sahur berdecak kesal. Dia ogah jika harus berurusan dengan Raka dan teman-teman nya.

Raka turun dari motor menghampiri Sahur yang bersiap untuk angkat kaki dari tempat tersebut.

“Eitsss, mau kemana lu, homo?” Raka dengan segenap tenaga menahan bagian depan motor aerox milik Sahur.

“Bukan urusan lo, brengsek. Minggir!” sahut Sahur.

“Gua liat-liat, makin deket aja lu sama mantan gua” Raka menarik paksa kunci motor yang tak sempat Sahur selamatkan. Raka menyimpan kunci motor tersebut di saku celana jeans nya.

“Turun” bengis Raka.

Raka memandangi Sahur dengan tatapan berapi-api.

“Lu harus ikut balapan satu lawan satu sama gua. Tunjukin kalo lu beneran laki-laki”

“Nggak. Gue harus pulang. Gue sibuk” tukas Sahur, menambah kemurkaan Raka.

“Lu yakin nggak mau ikut tantangan dari gua? Kalo lu menang, silahkan ambil Aruna. Disamping itu, gua nggak akan mengusik lu lagi. Gimana? Ini tawaran yang menguntungkan buat lu. Be smart

Sahur menatap Raka tajam. “Aruna bukan barang taruhan”

Okay then, gua bakal sebar info tentang pacar homo lu. Anak arsi kampus sebelah right? Gua juga gak akan semudah itu biarin lu bernafas dengan tenang di kampus nantinya” Raka melontarkan smirk menakutkan.

Sahur berpikir keras, dirinya terdiam dan mata nya menerawang. Berkali-kali Ia menelan ludah. Jelas Sahur menimbang-nimbang resiko dari balapan ini. Akan tetapi, disisi lain jika tidak dituntaskan sekarang, mau sampai kapan Sahur hidup dalam bayang-bayang Raka terus menerus. Ia sudah lelah dengan semua perlakuan buruk yang didapatkan.

“Oke. Kita balapan. Tapi lu harus tepatin semua kata-kata lu” ujar Sahur penuh penekanan.

Fine. Kalau gua menang, lu harus turutin semua kemauan gua” tegas Raka.

“Apa? Kemauan lu apa?”

“Nanti. Lu bakal tau sendiri. Penentuan ada di menang atau kalah nya kita berdua”


Ntah kemana Sahur dibawa oleh rombongan bermotor ini. Hari menunjukkan pukul 22.39, harusnya kini Sahur sedang bersantai dengan Mahen di rumah.

Jarak demi jarak ditempuh, akhirnya mereka semua sampai di jalanan kosong tak beraspal, belakang stasiun kereta api. Tempat kelam pekat tak ada penerangan, penuh semak, pohon besar dimana-mana, ditambah track yang cukup berlumpur dan becek, bisa dikatakan tempat ini jauh dari pemukiman. Tak lupa juga jauh dari kata layak untuk dijadikan arena balapan, melihat dari sisi medan yang lumayan terjal.

Sahur mengerutkan kening. “Dimana sirkuit nya?”

“Kita balapan disini” jawab Raka pendek. “Tuker motor lu sama motor temen gua”

“Lah? Ga ada di perjanjian tukar-tukar motor gini. Lagian motor gue bisa kok dibawa race

“Gak sepadan sama motor gua. Aerox lu matic, motor gua CBR”

Raka menginterupsi teman nya cepat. “Tukar!”

Terlambat. Sahur sudah masuk dalam tipuan Raka, dan tidak bisa mundur, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur.

“Tapi─ ” Sahur cepat-cepat menelan kembali kata-kata nya. Mau tak mau, suka tidak suka, Ia harus meladeni tantangan ini.

Saking kelam nya lingkungan sekitar, pencahayaan hanya didapat dari cahaya lampu sorot motor masing-masing mereka dan juga flash ponsel.

Sahur menggigit bibir nya. Ia harus menang. Harus.

Balapan pun dimulai. Salah seorang teman Raka menyalakan flash ponsel sebagai penanda mulai nya pertandingan.

“READY?” teriak lelaki tersebut seraya menatap Raka dan Sahur secara bergantian.

Sahur menatap Raka, lalu membuka helm fullface-nya. “Garis finish nya dimana??? Ini tempat nggak ada pencahayaan sama sekali. Track nya gak kebaca di gua!”

“Lu tinggal ikutin jalur nya! Gausah banyak bacot, anjing! Jadi balapan atau nggak?!” ujar Raka naik pitam.

Sahur kembali fokus ke jalanan yang lengang, gelap nan pekat didepan nya. Jantung nya berdegup kencang. Sungguh, Ia menyesal mengiyakan taruhan Raka.

Raka melontarkan pandangan pada teman nya sebagai kode mulai nya pertandingan.

“ONE.....”

Sahur meremat kuat tuas gas motor.

“TWO....”

Raka bersama segenap rencana busuk nya tersenyum senang, seolah tau bahwa kemenangan berpihak padanya.

“THREE....”

Teman Raka spontan mengangkat flash ponsel ke arah langit malam.

“GO!!!”

Raka dan Sahur melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Kabut yang ditimbulkan dari gesekan tanah dan ban tak dapat dipungkiri, alhasil pandangan masing-masing dari mereka berdua buram.

Sementara itu ditengah-tengah langit bergemuruh serta merta melahirkan guntur berlarut-larut, Sahur mempimpin dengan kecepatan tinggi meninggalkan Raka dibelakang. Demikian Raka dan rencana busuk yang telah Ia siapkan tersenyum jahat.

Sontak saat hendak melewati tikungan tajam, ban motor milik Sahur berdecit nyaring dan meledak pecah seiring melambat nya laju motor. Sahur pun bermanuver menepi ke sisi semak untuk menghindari kubangan berdiameter cukup besar dan terlihat dalam didepan sana.

Di kesempatan ini lah Raka menyalip Sahur, setelahnya sengaja menendang keras motor Sahur. Tendangan keras itu sukses merobohkan pertahanan Sahur hingga terjatuh ke semak-semak belukar.

Sahur panik bukan main. Ia tidak dapat melihat apa-apa. Pandangan sekitar kelam legam. Motor CBR milik teman Raka mati total. Samar-samar Sahur menatap cahaya yang berasal dari lampu motor Raka. Raka telah melaju sampai ke garis final.

“Curang! Ni motor atau lintasan nya sengaja di sabotase!” monolog Sahur geram.

Sahur berjalan setengah pincang menuju garis finish, terdapat cidera di kaki nya, sembari mendorong motor. Jelas Ia kalah dari Raka.

Sampainya di garis finish, Sahur melempar kasar helm fullface ke arah Raka.

“LO CURANG, NGENTOT!! MAKSUD LU APA TENDANG MOTOR GUE TADI?????” teriak Sahur tepat di hadapan wajah Raka.

“Loh? Ada buktinya gua main curang? Ada saksi? Lu jangan fitnah. Kalah mah terima aja”

“HALAH GAUSAH PLAYING VICTIM! BUKTINYA GUA JATOH! KAKI GUA LUKA! BAN MOTOR NYA JUGA PASTI UDAH DI SABOTASE ATAU LINTASAN NYA DITANAMI PAKU” cecar Sahur lagi.

Salah seorang teman Raka maju dan mendorong Sahur menjauh dari hadapan Raka. “Congor lu santai! Ngga usah ngegas! Kalah mah kalah aja! Dasar homo!”

Sahur melempar keras kunci motor tadi ke arah Raka. “BULLSHIT! LU CURANG RAKA! THIS IS UNFAIR!” Dadanya naik turun saking emosinya.

Kini Sahur dikelilingi oleh teman-teman Raka, termasuk dirinya. “Ini berarti, lu kalah dong ya? Lu harus turutin perintah gua”

BIG NO! Jangan harap gua turutin kemauan lu. Lu curang!” teriak Sahur dongkol.

Ekspresi Raka berubah. Tatapan nya mengintimidasi Sahur. “Lu laki kan? Omongan lu bisa dipegang, nggak? Jelas-jelas fakta nya lu kalah dalam balapan ini”

“Sekarang, sebagai hukuman. You gave a blow job to him” dengan santai Raka menunjuk salah seorang teman nya. “Didepan gua, sekarang!”

Nggak. Sahur tidak serendah dan sedungu itu untuk dengan mudah nya menuruti titah Raka barusan.

Sahur mengambil langkah mundur perlahan ke arah motor nya. “Gimana kalau gua nggak mau, anjing?” tantang Sahur.

Raka menggeram rendah. “Sialan. Berani nya lu berkilah atas perintah gua!”

Perlahan tapi pasti, Sahur berjalan mundur mencoba menggapai motor nya untuk kabur. Sial nya Sahur, Ia tersandung batu besar hingga jatuh terduduk ditanah.

Teman Raka paham, gerak-gerik Sahur lalu berkomentar. “Lu mau kabur, hah? Rak, dia mau kabur!!!”

Sigap jemari Sahur menggapai segenggam besar pasir, melempar nya ke arah Raka dan teman-teman nya tepat mengenai mata. Sahur menggunakan peluang dengan baik, tepat pada perkiraan. Kemudian Sahur tancap gas meninggalkan segerombol lelaki sinting tersebut. Tentu saja Sahur tak akan bermurah hati menyerahkan seluruh harga diri nya.

“ARGHHHH!!! SHIT! KEJAR!” teriak Raka lantang. Kala dirinya sibuk berkutat dengan mata perih akibat pasir lemparan Sahur.

Was-was namun percaya diri, Sahur menerka-nerka jalanan asing yang semakin ditelusuri semakin tinggi semaknya. Ntah lah dimana ujung dari jalan bertanah ini, Sahur harus segera sampai di jalan raya sebelum gerombolan lelaki tidak waras itu menangkap nya.

Tikungan demi tikungan Sahur lewati, jantung nya berdetak keras, wajah nya pucat pasi, keringat mengucur deras, cidera pada kaki nya semakin parah. Di satu sisi, Sahur sebenarnya tidak takut dengan Raka. Mungkin jika satu lawan satu Sahur bisa menyanggupi Raka, namun kali ini berbeda, Raka dengan rombongan nya dan Sahur menghadapi itu semua sendirian. Kalah telak di jumlah. Ketimbang bunuh diri dengan melawan mereka, lebih baik Ia kabur menyelamatkan diri untuk sekarang. Itu yang terpenting.

Bukan nya jalan raya yang Sahur dapati, jalanan bertanah ini malah membawa dirinya pada gerbang belakang stasiun kereta api. Mungkin kah Sahur salah jalan sehingga ujung dari jalanan kelam tersebut adalah gerbang belakang stasiun kereta api?

Sahur meninjau keberadaan rombongan Raka ke belakang yang bergerak semakin mendekat. “*Fuck!!! Gue harus apa???”

Rombongan Raka meneriakkan nama Sahur berkali-kali, akan tetapi Sahur tak menghiraukan nya. Ia memarkirkan motor didekat gerbang belakang stasiun kereta api, lantas memberanikan diri untuk masuk kedalam lorong gelap dihadapan nya.

Sahur sengaja tak menggunakan flash ponsel, baterai nya sekarat akibat di mainkan Aruna seharian. Satu-satu nya cara adalah meminta pertolongan pada........

Keenan. Untuk saat ini.

#Taruhan.

Sepulang mengantar Aruna ke rumah, Sahur tiba-tiba dicegat oleh segerombol lelaki bermotor. Sahur berdecak kesal. Dia ogah jika harus berurusan dengan Raka dan teman-teman nya.

Raka turun dari motor menghampiri Sahur yang bersiap untuk angkat kaki dari tempat tersebut.

“Eitsss, mau kemana lu, homo?” Raka dengan segenap tenaga menahan bagian depan motor aerox milik Sahur.

“Bukan urusan lo, brengsek. Minggir!” sahut Sahur.

“Gua liat-liat, makin deket aja lu sama mantan gua” Raka menarik paksa kunci motor yang tak sempat Sahur selamatkan. Raka menyimpan kunci motor tersebut di saku celana jeans nya.

“Turun” bengis Raka.

Raka memandangi Sahur dengan tatapan berapi-api.

“Lu harus ikut balapan satu lawan satu sama gua. Tunjukin kalo lu beneran laki-laki”

“Nggak. Gue harus pulang. Gue sibuk” tukas Sahur, menambah kemurkaan Raka.

“Lu yakin nggak mau ikut tantangan dari gua? Kalo lu menang, silahkan ambil Aruna. Disamping itu, gua nggak akan mengusik lu lagi. Gimana? Ini tawaran yang menguntungkan buat lu. Be smart

Sahur menatap Raka tajam. “Aruna bukan barang taruhan”

Okay then, gua bakal sebar info tentang pacar homo lu. Anak arsi kampus sebelah right?. Gua juga gak akan semudah itu biarin lu bernafas dengan tenang di kampus nantinya” Raka melontarkan smirk menakutkan.

Sahur berpikir keras, dirinya terdiam dan mata nya menerawang. Berkali-kali Ia menelan ludah. Jelas Sahur menimbang-nimbang resiko dari balapan ini. Akan tetapi, disisi lain jika tidak dituntaskan sekarang, mau sampai kapan Sahur hidup dalam bayang-bayang Raka terus menerus. Ia sudah lelah dengan semua perlakuan buruk yang didapatkan.

“Oke. Kita balapan. Tapi lu harus tepatin semua kata-kata lu” ujar Sahur penuh penekanan.

Fine. Kalau gua menang, lu harus turutin semua kemauan gua” tegas Raka.

“Apa? Kemauan lu apa?”

“Nanti. Lu bakal tau sendiri. Penentuan ada di menang atau kalah nya kita berdua”


Ntah kemana Sahur dibawa oleh rombongan bermotor ini. Hari menunjukkan pukul 22.39, harusnya kini Sahur sedang bersantai dengan Mahen di rumah.

Jarak demi jarak ditempuh, akhirnya mereka semua sampai di jalanan kosong tak beraspal, belakang stasiun kereta api. Tempat kelam pekat tak ada penerangan, penuh semak, pohon besar dimana-mana, ditambah track yang cukup berlumpur dan becek, bisa dikatakan tempat ini jauh dari pemukiman. Tak lupa juga jauh dari kata layak untuk dijadikan arena balapan, melihat dari sisi medan yang lumayan terjal.

Sahur mengerutkan kening. “Dimana sirkuit nya?”

“Kita balapan disini” jawab Raka pendek. “Tuker motor lu sama motor temen gua”

“Lah? Ga ada di perjanjian tukar-tukar motor gini. Lagian motor gue bisa kok dibawa race

“Gak sepadan sama motor gua. Aerox lu matic, motor gua CBR”

Raka menginterupsi teman nya cepat. “Tukar!”

Terlambat. Sahur sudah masuk dalam tipuan Raka, dan tidak bisa mundur, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur.

“Tapi─ ” Sahur cepat-cepat menelan kembali kata-kata nya. Mau tak mau, suka tidak suka, Ia harus meladeni tantangan ini.

Saking kelam nya lingkungan sekitar, pencahayaan hanya didapat dari cahaya lampu sorot motor masing-masing mereka dan juga flash ponsel.

Sahur menggigit bibir nya. Ia harus menang. Harus.

Balapan pun dimulai. Salah seorang teman Raka menyalakan flash ponsel sebagai penanda mulai nya pertandingan.

“READY?” teriak lelaki tersebut seraya menatap Raka dan Sahur secara bergantian.

Sahur menatap Raka, lalu membuka helm fullface-nya. “Garis finish nya dimana??? Ini tempat nggak ada pencahayaan sama sekali. Track nya gak kebaca di gua!”

“Lu tinggal ikutin jalur nya! Gausah banyak bacot, anjing! Jadi balapan atau nggak?!” ujar Raka naik pitam.

Sahur kembali fokus ke jalanan yang lengang, gelap nan pekat didepan nya. Jantung nya berdegup kencang. Sungguh, Ia menyesal mengiyakan taruhan Raka.

Raka melontarkan pandangan pada teman nya sebagai kode mulai nya pertandingan.

“ONE.....”

Sahur meremat kuat tuas gas motor.

“TWO....”

Raka bersama segenap rencana busuk nya tersenyum senang, seolah tau bahwa kemenangan berpihak padanya.

“THREE....”

Teman Raka spontan mengangkat flash ponsel ke arah langit malam.

“GO!!!”

Raka dan Sahur melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Kabut yang ditimbulkan dari gesekan tanah dan ban tak dapat dipungkiri, alhasil pandangan masing-masing dari mereka berdua buram.

Sementara itu ditengah-tengah langit bergemuruh serta merta melahirkan guntur berlarut-larut, Sahur mempimpin dengan kecepatan tinggi meninggalkan Raka dibelakang. Demikian Raka dan rencana busuk yang telah Ia siapkan tersenyum jahat.

Sontak saat hendak melewati tikungan tajam, ban motor milik Sahur berdecit nyaring dan meledak pecah seiring melambat nya laju motor. Sahur pun bermanuver menepi ke sisi semak untuk menghindari kubangan berdiameter cukup besar dan terlihat dalam didepan sana.

Di kesempatan ini lah Raka menyalip Sahur, setelahnya sengaja menendang keras motor Sahur. Tendangan keras itu sukses merobohkan pertahanan Sahur hingga terjatuh ke semak-semak belukar.

Sahur panik bukan main. Ia tidak dapat melihat apa-apa. Pandangan sekitar kelam legam. Motor CBR milik teman Raka mati total. Samar-samar Sahur menatap cahaya yang berasal dari lampu motor Raka. Raka telah melaju sampai ke garis final.

“Curang! Ni motor atau lintasan nya sengaja di sabotase!” monolog Sahur geram.

Sahur berjalan setengah pincang menuju garis finish, terdapat cidera di kaki nya, sembari mendorong motor. Jelas Ia kalah dari Raka.

Sampainya di garis finish, Sahur melempar kasar helm fullface ke arah Raka.

“LO CURANG, NGENTOT!! MAKSUD LU APA TENDANG MOTOR GUE TADI?????” teriak Sahur tepat di hadapan wajah Raka.

“Loh? Ada buktinya gua main curang? Ada saksi? Lu jangan fitnah. Kalah mah terima aja”

“HALAH GAUSAH PLAYING VICTIM! BUKTINYA GUA JATOH! KAKI GUA LUKA! BAN MOTOR NYA JUGA PASTI UDAH DI SABOTASE ATAU LINTASAN NYA DITANAMI PAKU” cecar Sahur lagi.

Salah seorang teman Raka maju dan mendorong Sahur menjauh dari hadapan Raka. “Congor lu santai! Ngga usah ngegas! Kalah mah kalah aja! Dasar homo!”

Sahur melempar keras kunci motor tadi ke arah Raka. “BULLSHIT! LU CURANG RAKA! THIS IS UNFAIR!” Dadanya naik turun saking emosinya.

Kini Sahur dikelilingi oleh teman-teman Raka, termasuk dirinya. “Ini berarti, lu kalah dong ya? Lu harus turutin perintah gua”

BIG NO! Jangan harap gua turutin kemauan lu. Lu curang!” teriak Sahur dongkol.

Ekspresi Raka berubah. Tatapan nya mengintimidasi Sahur. “Lu laki kan? Omongan lu bisa dipegang, nggak? Jelas-jelas fakta nya lu kalah dalam balapan ini”

“Sekarang, sebagai hukuman. You gave a blow job to him” dengan santai Raka menunjuk salah seorang teman nya. “Didepan gua, sekarang!”

Nggak. Sahur tidak serendah dan sedungu itu untuk dengan mudah nya menuruti titah Raka barusan.

Sahur mengambil langkah mundur perlahan ke arah motor nya. “Gimana kalau gua nggak mau, anjing?” tantang Sahur.

Raka menggeram rendah. “Sialan. Berani nya lu berkilah atas perintah gua!”

Perlahan tapi pasti, Sahur berjalan mundur mencoba menggapai motor nya untuk kabur. Sial nya Sahur, Ia tersandung batu besar hingga jatuh terduduk ditanah.

Teman Raka paham, gerak-gerik Sahur lalu berkomentar. “Lu mau kabur, hah? Rak, dia mau kabur!!!”

Sigap jemari Sahur menggapai segenggam besar pasir, melempar nya ke arah Raka dan teman-teman nya tepat mengenai mata. Sahur menggunakan peluang dengan baik, tepat pada perkiraan. Kemudian Sahur tancap gas meninggalkan segerombol lelaki sinting tersebut. Tentu saja Sahur tak akan bermurah hati menyerahkan seluruh harga diri nya.

“ARGHHHH!!! SHIT! KEJAR!” teriak Raka lantang. Kala dirinya sibuk berkutat dengan mata perih akibat pasir lemparan Sahur.

Was-was namun percaya diri, Sahur menerka-nerka jalanan asing yang semakin ditelusuri semakin tinggi semaknya. Ntah lah dimana ujung dari jalan bertanah ini, Sahur harus segera sampai di jalan raya sebelum gerombolan lelaki tidak waras itu menangkap nya.

Tikungan demi tikungan Sahur lewati, jantung nya berdetak keras, wajah nya pucat pasi, keringat mengucur deras, cidera pada kaki nya semakin parah. Di satu sisi, Sahur sebenarnya tidak takut dengan Raka. Mungkin jika satu lawan satu Sahur bisa menyanggupi Raka, namun kali ini berbeda, Raka dengan rombongan nya dan Sahur menghadapi itu semua sendirian. Kalah telak di jumlah. Ketimbang bunuh diri dengan melawan mereka, lebih baik Ia kabur menyelamatkan diri untuk sekarang. Itu yang terpenting.

Bukan nya jalan raya yang Sahur dapati, jalanan bertanah ini malah membawa dirinya pada gerbang belakang stasiun kereta api. Mungkin kah Sahur salah jalan sehingga ujung dari jalanan kelam tersebut adalah gerbang belakang stasiun kereta api?

Sahur meninjau keberadaan rombongan Raka ke belakang yang bergerak semakin mendekat. “*Fuck!!! Gue harus apa???”

Rombongan Raka meneriakkan nama Sahur berkali-kali, akan tetapi Sahur tak menghiraukan nya. Ia memarkirkan motor didekat gerbang belakang stasiun kereta api, lantas memberanikan diri untuk masuk kedalam lorong gelap dihadapan nya.

Sahur sengaja tak menggunakan flash ponsel, baterai nya sekarat akibat di mainkan Aruna seharian. Satu-satu nya cara adalah meminta pertolongan pada........

Keenan. Untuk saat ini.

#Taruhan.

Sepulang mengantar Aruna ke rumah, Sahur tiba-tiba dicegat oleh segerombol lelaki bermotor. Sahur berdecak kesal. Dia ogah jika harus berurusan dengan Raka dan teman-teman nya.

Raka turun dari motor menghampiri Sahur yang bersiap untuk angkat kaki dari tempat tersebut.

“Eitsss, mau kemana lu, homo?” Raka dengan segenap tenaga menahan bagian depan motor aerox milik Sahur.

“Bukan urusan lo, brengsek. Minggir!” sahut Sahur.

“Gua liat-liat, makin deket aja lu sama mantan gua” Raka menarik paksa kunci motor yang tak sempat Sahur selamatkan. Raka menyimpan kunci motor tersebut di saku celana jeans nya.

“Turun” bengis Raka.

Raka memandangi Sahur dengan tatapan berapi-api.

“Lu harus ikut balapan satu lawan satu sama gua. Tunjukin kalo lu beneran laki-laki”

“Nggak. Gue harus pulang. Gue sibuk” tukas Sahur, menambah kemurkaan Raka.

“Lu yakin nggak mau ikut tantangan dari gua? Kalo lu menang, silahkan ambil Aruna. Disamping itu, gua nggak akan mengusik lu lagi. Gimana? Ini tawaran yang menguntungkan buat lu. Be smart

Sahur menatap Raka tajam. “Aruna bukan barang taruhan”

Okay then, gua bakal sebar info tentang pacar homo lu. Anak arsi kampus sebelah right?. Gua juga gak akan semudah itu biarin lu bernafas dengan tenang di kampus nantinya” Raka melontarkan smirk menakutkan.

Sahur berpikir keras, dirinya terdiam dan mata nya menerawang. Berkali-kali Ia menelan ludah. Jelas Sahur menimbang-nimbang resiko dari balapan ini. Akan tetapi, disisi lain jika tidak dituntaskan sekarang, mau sampai kapan Sahur hidup dalam bayang-bayang Raka terus menerus. Ia sudah lelah dengan semua perlakuan buruk yang didapatkan.

“Oke. Kita balapan. Tapi lu harus tepatin semua kata-kata lu” ujar Sahur penuh penekanan.

Fine. Kalau gua menang, lu harus turutin semua kemauan gua” tegas Raka.

“Apa? Kemauan lu apa?”

“Nanti. Lu bakal tau sendiri. Penentuan ada di menang atau kalah nya kita berdua”


Ntah kemana Sahur dibawa oleh rombongan bermotor ini. Hari menunjukkan pukul 22.39, harusnya kini Sahur sedang bersantai dengan Mahen di rumah.

Jarak demi jarak ditempuh, akhirnya mereka semua sampai di jalanan kosong tak beraspal, belakang stasiun kereta api. Tempat kelam pekat tak ada penerangan, penuh semak, pohon besar dimana-mana, ditambah track yang cukup berlumpur dan becek, bisa dikatakan tempat ini jauh dari pemukiman. Tak lupa juga jauh dari kata layak untuk dijadikan arena balapan, melihat dari sisi medan yang lumayan terjal.

Sahur mengerutkan kening. “Dimana sirkuit nya?”

“Kita balapan disini” jawab Raka pendek. “Tuker motor lu sama motor temen gua”

“Lah? Ga ada di perjanjian tukar-tukar motor gini. Lagian motor gue bisa kok dibawa race

“Gak sepadan sama motor gua. Aerox lu matic, motor gua CBR”

Raka menginterupsi teman nya cepat. “Tukar!”

Terlambat. Sahur sudah masuk dalam tipuan Raka, dan tidak bisa mundur, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur.

“Tapi─ ” Sahur cepat-cepat menelan kembali kata-kata nya. Mau tak mau, suka tidak suka, Ia harus meladeni tantangan ini.

Saking kelam nya lingkungan sekitar, pencahayaan hanya didapat dari cahaya lampu sorot motor masing-masing mereka dan juga flash ponsel.

Sahur menggigit bibir nya. Ia harus menang. Harus.

Balapan pun dimulai. Salah seorang teman Raka menyalakan flash ponsel sebagai penanda mulai nya pertandingan.

“READY?” teriak lelaki tersebut seraya menatap Raka dan Sahur secara bergantian.

Sahur menatap Raka, lalu membuka helm fullface-nya. “Garis finish nya dimana??? Ini tempat nggak ada pencahayaan sama sekali. Track nya gak kebaca di gua!”

“Lu tinggal ikutin jalur nya! Gausah banyak bacot, anjing! Jadi balapan atau nggak?!” ujar Raka naik pitam.

Sahur kembali fokus ke jalanan yang lengang, gelap nan pekat didepan nya. Jantung nya berdegup kencang. Sungguh, Ia menyesal mengiyakan taruhan Raka.

Raka melontarkan pandangan pada teman nya sebagai kode mulai nya pertandingan.

“ONE.....”

Sahur meremat kuat tuas gas motor.

“TWO....”

Raka bersama segenap rencana busuk nya tersenyum senang, seolah tau bahwa kemenangan berpihak padanya.

“THREE....”

Teman Raka spontan mengangkat flash ponsel ke arah langit malam.

“GO!!!”

Raka dan Sahur melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Kabut yang ditimbulkan dari gesekan tanah dan ban tak dapat dipungkiri, alhasil pandangan masing-masing dari mereka berdua buram.

Sementara itu ditengah-tengah langit bergemuruh serta merta melahirkan guntur berlarut-larut, Sahur mempimpin dengan kecepatan tinggi meninggalkan Raka dibelakang. Demikian Raka dan rencana busuk yang telah Ia siapkan tersenyum jahat.

Sontak saat hendak melewati tikungan tajam, ban motor milik Sahur berdecit nyaring dan meledak pecah seiring melambat nya laju motor. Sahur pun bermanuver menepi ke sisi semak untuk menghindari kubangan berdiameter cukup besar dan terlihat dalam didepan sana.

Di kesempatan ini lah Raka menyalip Sahur, setelahnya sengaja menendang keras motor Sahur. Tendangan keras itu sukses merobohkan pertahanan Sahur hingga terjatuh ke semak-semak belukar.

Sahur panik bukan main. Ia tidak dapat melihat apa-apa. Pandangan sekitar kelam legam. Motor CBR milik teman Raka mati total. Samar-samar Sahur menatap cahaya yang berasal dari lampu motor Raka. Raka telah melaju sampai ke garis final.

“Curang! Ni motor atau lintasan nya sengaja di sabotase!” monolog Sahur geram.

Sahur berjalan setengah pincang menuju garis finish, terdapat cidera di kaki nya, sembari mendorong motor. Jelas Ia kalah dari Raka.

Sampainya di garis finish, Sahur melempar kasar helm fullface ke arah Raka.

“LO CURANG, NGENTOT!! MAKSUD LU APA TENDANG MOTOR GUE TADI?????” teriak Sahur tepat di hadapan wajah Raka.

“Loh? Ada buktinya gua main curang? Ada saksi? Lu jangan fitnah. Kalah mah terima aja”

“HALAH GAUSAH PLAYING VICTIM! BUKTINYA GUA JATOH! KAKI GUA LUKA! BAN MOTOR NYA JUGA PASTI UDAH DI SABOTASE ATAU LINTASAN NYA DITANAMI PAKU” cecar Sahur lagi.

Salah seorang teman Raka maju dan mendorong Sahur menjauh dari hadapan Raka. “Congor lu santai! Ngga usah ngegas! Kalah mah kalah aja! Dasar homo!”

Sahur melempar keras kunci motor tadi ke arah Raka. “BULLSHIT! LU CURANG RAKA! THIS IS UNFAIR!” Dadanya naik turun saking emosinya.

Kini Sahur dikelilingi oleh teman-teman Raka, termasuk dirinya. “Ini berarti, lu kalah dong ya? Lu harus turutin perintah gua”

BIG NO! Jangan harap gua turutin kemauan lu. Lu curang!” teriak Sahur dongkol.

Ekspresi Raka berubah. Tatapan nya mengintimidasi Sahur. “Lu laki kan? Omongan lu bisa dipegang, nggak? Jelas-jelas fakta nya lu kalah dalam balapan ini”

“Sekarang, sebagai hukuman. You gave a blow job to him“dengan santai Raka menunjuk salah seorang teman nya. “Didepan gua, sekarang!”

Nggak. Sahur tidak serendah dan sedungu itu untuk dengan mudah nya menuruti titah Raka barusan.

Sahur mengambil langkah mundur perlahan ke arah motor nya. “Gimana kalau gua nggak mau, anjing?” tantang Sahur.

Raka menggeram rendah. “Sialan. Berani nya lu berkilah atas perintah gua!”

Perlahan tapi pasti, Sahur berjalan mundur mencoba menggapai motor nya untuk kabur. Sial nya Sahur, Ia tersandung batu besar hingga jatuh terduduk ditanah.

Teman Raka paham, gerak-gerik Sahur lalu berkomentar. “Lu mau kabur, hah? Rak, dia mau kabur!!!”

Sigap jemari Sahur menggapai segenggam besar pasir, melempar nya ke arah Raka dan teman-teman nya tepat mengenai mata. Sahur menggunakan peluang dengan baik, tepat pada perkiraan. Kemudian Sahur tancap gas meninggalkan segerombol lelaki sinting tersebut. Tentu saja Sahur tak akan bermurah hati menyerahkan seluruh harga diri nya.

“ARGHHHH!!! SHIT! KEJAR!” teriak Raka lantang. Kala dirinya sibuk berkutat dengan mata perih akibat pasir lemparan Sahur.

Was-was namun percaya diri, Sahur menerka-nerka jalanan asing yang semakin ditelusuri semakin tinggi semaknya. Ntah lah dimana ujung dari jalan bertanah ini, Sahur harus segera sampai di jalan raya sebelum gerombolan lelaki tidak waras itu menangkap nya.

Tikungan demi tikungan Sahur lewati, jantung nya berdetak keras, wajah nya pucat pasi, keringat mengucur deras, cidera pada kaki nya semakin parah. Di satu sisi, Sahur sebenarnya tidak takut dengan Raka. Mungkin jika satu lawan satu Sahur bisa menyanggupi Raka, namun kali ini berbeda, Raka dengan rombongan nya dan Sahur menghadapi itu semua sendirian. Kalah telak di jumlah. Ketimbang bunuh diri dengan melawan mereka, lebih baik Ia kabur menyelamatkan diri untuk sekarang. Itu yang terpenting.

Bukan nya jalan raya yang Sahur dapati, jalanan bertanah ini malah membawa dirinya pada gerbang belakang stasiun kereta api. Mungkin kah Sahur salah jalan sehingga ujung dari jalanan kelam tersebut adalah gerbang belakang stasiun kereta api?

Sahur meninjau keberadaan rombongan Raka ke belakang yang bergerak semakin mendekat. “*Fuck!!! Gue harus apa???”

Rombongan Raka meneriakkan nama Sahur berkali-kali, akan tetapi Sahur tak menghiraukan nya. Ia memarkirkan motor didekat gerbang belakang stasiun kereta api, lantas memberanikan diri untuk masuk kedalam lorong gelap dihadapan nya.

Sahur sengaja tak menggunakan flash ponsel, baterai nya sekarat akibat di mainkan Aruna seharian. Satu-satu nya cara adalah meminta pertolongan pada........

Keenan. Untuk saat ini.