#Derana.

Sejak siang tadi, Keenan gelisah bukan kepalang. Tak ada titik terang akan kabar dan keberadaan Sahur sekarang. Keenan meremat erat ponsel yang sedari tadi tak berhenti menghubungi kontak Sahur.

Keenan bahkan sudah meminta bantuan Joshua, Tio dan beberapa rekan sejawat mereka untuk mencari keberadaan Sahur. Tetapi nihil. Dan kini Keenan tenggelam akan rasa takut yang menyeruak seiring emosi yang membuncah-buncah di kepala.

Seketika Keenan tersadar dari lamunan nya akibat panggilan telepon dari Sahur. Sanubarinya kacau balau, kerongkongan nya tercekat hebat. Keenan lekas mengangkat panggilan tersebut.

”.......”

Hening. Hanya ada suara nafas berderu-deru.

Lambat laun isak tangis mulai terdengar. Semakin lama semakin terdengar kencang.

“Keenan, tolongin gue! Tolongin gue” isak tangis Sahur tak terbendung lagi di sebrang sana.

“Lu dimana? Kenapa sampai nangis begini!!” jawab Keenan panik.

Terdengar sunyi di ujung sana dan juga suara panggilan terputus-putus ulah jaringan.

Tak bisa dibiarkan, segera Keenan menggapai hoodie dan kunci mobil expander miliknya di atas nakas. “SAHUR? NGOMONG YANG JELAS! PUTUS PUTUS....”

Suara bising dan getaran rel kereta api terdengar sangat keras pada speaker ponsel milik Keenan.

Sahur tetap menangis disebrang sana. Bercampur dengan senggukan, Sahur berkata pelan. “Keenan tolongin......gua.......” selanjutnya omongan Sahur terputus-putus.

“BICARA YANG JELAS BRENGSEK!” Keenan tak tahan, rasa-rasa kepala nya ingin meledak mendengar isak tangis Sahur.

Tiba-tiba panggilan terputus sepihak. Keluarlah segala sumpah serapah dari bibir ranum milik Keenan. Amarah nya membuncah-buncah.

Keenan tak mungkin sendirian, setidaknya harus beramai-ramai untuk menyelamatkan Sahur. Ya, Keenan harus menjemput Mahen dan beberapa teman nya.

Mengambang sudah pikiran-pikiran negatif. Apa Sahur sengaja di ikat di rel kereta api? Atau dia dikeroyok oleh Raka di stasiun? Keenan terus menerka-nerka sembari menyetir dengan kecepatan diatas rata-rata menuju rumah Mahen.


Sahur tertangkap basah di lorong sempit stasiun kereta api oleh rombongan Raka. Seluruh tubuh nya remuk tak berkutik, bahkan sampai sulit untuk bernapas.

Raka menghancurkan Sahur seolah tak ada hari esok. Bertubi tubu serangan Ia lancarkan pada Sahur, begitu juga teman-teman nya turut mengeroyok. Tak lupa Raka menginjak dan menendang kaki Sahur yang cidera akibat jatuh dari motor saat balapan tadi.

Serangan demi serangan dilayangkan tak henti-henti pada tubuh rapuh itu. Lebam dan lecet menghiasi seluruh wajah Sahur. Sahur menangis pilu memohon pada Raka untuk berhenti menyiksa diri nya.

Raka menjambak kasar surai cokelat Sahur agar mendongak menatap diri nya. “Gimana kalo nyawa lu gua habisin malem ini, hm?”

Sahur tak menjawab. Ia hanya bisa menangis.

“Ampun....”

“Gue minta maaf Raka..... gua mohon, stop....”

“Sakit....”

Berkali kali bibir lemah itu mengucap ampun, namun tak ada jera dari Raka.

Raka sendiri muak mendengar tangisan Sahur lantas membanting kepala sahur dengan keras pada tembok.

Seketika pandangan Sahur menggelap, Ia meringis bak pesakitan.


Didalam mobil Keenan, suasana hening dan mencekam. Mahen, Zuhri, Joshua, Tio, Bayu dan Alan larut dalam pikiran nya masing-masing.

Jangan tanya Mahen. Dia lah orang paling khawatir dan gusar mendengar kabar dari Keenan. Tentu saja Mahen sangat takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Tak henti pula Mahen berucap doa sedari tadi.

Joshua yang duduk dikursi paling depan menoleh ke arah Keenan. “Kau yakin, si Sahur di stasiun?”

“Yakin. Gua denger dengan jelas suara kereta api tadi di telepon”

“Sekarang udah jam 12 malam pasti udah tutup, Bang” sahut Zuhri dari kursi penumpang paling belakang.

Keenan menghela napas panjang. “Cara satu-satu nya adalah lewat belakang, gua udah pernah ke sana waktu blusukan tugas organisasi”

Tio kontan menyahut. “Tapi ya, dibelakang stasiun itu isi nya semak, nggak ada jalur buat balapan. Kok bisa si Raka tolol ni ajak Sahur buat balapan ke sana”

Satu mobil masih mendebatkan posisi Sahur yang sebenarnya. Mengingat tak ada kejelasan tempat keberadaan Sahur, mereka semua hanya berpaku pada suara lintasan rel kereta api yang terdengar pada sambungan telepon Keenan dan Sahur.

Kecuali Mahen.

Batin nya terus memanjatkan doa. Tak henti memanjatkan segala doa penyelamat untuk Sahur. Jujur, kondisi kini Mahen tengah memburuk dan juga beberapa hari terakhir sangat tidak stabil. Mahen bisa ikut mencari Sahur sekarang saja harus pergi mengendap-ngendap diluar kesadaran Mama dan Biru.

Alan menotice Mahen yang sedari tadi diam membisu. “Mahen, lu oke kan?”

Mahen menunduk. “Oke Bang. Gua rada pusing aja karna mikirin Sahur” jawab Mahen.

Petir bergemuruh saling bersaut-sautan. Hari menunjukkan pukul 00.26 dini hari. Keenan melajukan mobil nya dengan cepat, melesat dijalanan aspal.

Satu kilo meter didepan sana, mobil Keenan melaju memasuki jalan bertanah nan penuh rerumputan tinggi. Keenan menurunkan kecepatan mobil nya, menyusuri track bekas gesekan ban motor itu dengan seksama, dibantu oleh Joshua menelisik lingkungan sekitar.

Alan berkomentar. “Sinting. Raka kok bisa sempit banget otak nya? Ini jalan udah nggak ada penerangan sama sekali, medan nya terjal. Mana bisa dijadiin jalur balapan goblok”

Hingga mereka tiba di gerbang belakang stasiun kereta api. Sudah banyak motor-motor sport berpakiran di sana, termasuk Aerox khas kepemilikan Sahur.

Mahen mengepalkan tangan nya. “Itu motor Sahur”

Keenan menangguk. Kemudian mereka semua turun dari mobil lalu memasuki lorong gelap yang terbuka lebar dihadapan mereka.

“Sahur ni untung nggak paok-paok kali” gumam Joshua.

Sahur itu cerdas. Sebelum Ia tertangkap oleh gerombolan Raka, Sahur menjatuhkan satu persatu isi tas kuliah nya. Ada banyak sekali benda-benda yang Keenan kenal dengan jelas dan dapat dijadikan petunjuk arah keberadaan Sahur. Dibantu oleh Zuhri dan Bayu, mereka mengumpulkan benda-benda tersebut.

Sampai pada akhirnya, rombongan Keenan dan Raka bertemu, tentu Sahur turut ditemukan. Terjadilah perkelahian tak sebanding. Raka dan teman-teman nya terhitung belasan orang, timbang Keenan dan rombongan hanya bertujuh.

Mahen, Keenan dan Joshua menjadi kandidat terdepan penyerang balik Raka. Tio, Alan dan Zuhri juga ikut andil, kecuali Bayu. Bayu masih bersusah payah mengeluarkan Sahur yang setengah sadar dari peti tempat penyimpanan barang berukuran sangat kecil. Sungguh, Raka sudah melewati batas.

Dengan pengecutnya, rombongan Raka mundur kabur. Hendak dikejar oleh Keenan namun ditahan Joshua. Kondisi Sahur yang terpenting sekarang.

Bayu menggerak-gerakkan tubuh Sahur. “Sa, bangun. Ini Bayu, Sa...”

“Lu masih sadar kan? Bisa berdiri?”

Anggukan lemah menjadi respon.

Bayu memapah Sahur untuk berdiri, kemudian disusul oleh Mahen turut membantu.

“Kita ke rumah sakit sekarang. Lu harus dapet pertolongan medis” tegas Keenan.

“Nggak...gue mau pulang...” ujar Sahur pelan.

“Gak ada penolakan, harus─” ucapan Keenan dipotong oleh Sahur.

“Gua mau nya pulang! Gausah maksa!” bentak Sahur.

Jika sudah begini, mereka hanya bisa menuruti kemauan Sahur dengan syarat sesampai nya dirumah lebam ditambah luka-luka langsung di obati dan mendapat penjagaan ketat. Jaga-jaga Raka akan membuat ulah.