apricothyuck

Temaram

#Temaram.

Sahur membawa diri langkah demi langkah, menuju rumah Mahen sepulang pertemuan dengan Aruna senja tadi.

Ia mengenakan sweater sewarna langit cerah, berikut celana panjang sewarna gelap malam.

Tepat dua hari berlalu, Sahur berucap akan angkat kaki dari rumah. Itu sungguhan. Sahur akan pindah sementara ke rumah Keenan. Bertujuan menghemat uang tabungan, walau belum di gunakan satu rupiah pun. Sahur juga belum memiliki resolusi untuk kedepan nanti, begitu banyak yang harus di timbang-timbang kembali.

Urusan Calya, hal ini berdampak buruk karena sampai sekarang Calya enggan berbicara dengan Sahur. Menurut Calya, Sahur tidak menepati janji. Janji untuk tetap tumbuh bersama, dan tidak membiarkan Calya menderita seorang diri di rumah yang tak pantas di sebut rumah itu.

“Assalamualaikum ...” Sahur berucap seiring mengetuk pintu rumah Mahen.

Di dapati Biru membuka pintu.

“Wa 'alaikumussalam. Abang di belakang” tunjuk Biru ke arah belakang.

Sahur mengangguk. Ia berjalan lurus ke arah belakang rumah Mahen. Sembari berjalan, Sahur bertanya keberadaan Mama Mahen. Biru menjawab bahwa Mama sedang sholat di kamar, sepengetahuan nya.

Tiba-tiba, ada pergerakan tak terduga dari Biru. “Lo ngapain, Biru?” tanya Sahur.

Biru terkekeh. “Hampir aja gua lupa. Bang Mahen kan mau nunjukin sesuatu, terus mata lu harus di tutup dulu” tutur Biru, sembari memasang scarf putih milik Mama Mahen.

Sahur nyengir. “Abang sama adek sama aja kelakuan nya”

Meraba-raba, Sahur di tuntun Biru melangkah ke pekarangan belakang rumah. Di sana sudah ada Mahen berselimut cahaya temaram.

Sahur di tuntun biru sampai di hadapan Mahen. “Mahen?” panggil Sahur.

Sahur mengarahkan tangan pada scarf dan melepas nya. Saat membuka mata, atensi Sahur langsung teralih pada gazebo minimalis yang sangat indah berdiri kokoh di belakang Mahen, Ia terpaku akan keindahan gazebo tersebut. Warna putih bersih, seolah lekat sempurna pada kayu-kayu gazebo buatan Mahen ini. Sepersekian detik kemudian, atensi Sahur di tarik oleh netra nan teduh milik Mahen. Tatapan teduh itu, tak pernah berubah bahkan sejak awal pertemuan mereka. Sorot kagum Sahur beri pada Mahen berikut senyuman manis. “Gue pikir bercanda”

“Kapan gua bercanda untuk urusan Sahur Ramadhan” jawab Mahen pelan hampir tak terdengar.

Mahen mempersilahkan Sahur untuk duduk terlebih dahulu di dalam gazebo bernuansa putih tersebut. Sementara Mahen di bantu oleh Biru untuk pindah dari kursi roda ke tempat duduk di sebelah Sahur.

Setelah nya Biru berniat pergi, akan tetapi di tahan oleh Sahur. “Lu ga ikut nongkrong sama anak-anak di warung Bang Jo?”

Biru tampak tertarik. “Emang di sana ada siapa aja, Sa?”

“Keenan, Zuhri, Dewa. Pokoknya semua lagi pada ngumpul kecuali kita bertiga” jawab Sahur.

Biru menggeleng. “Skip dulu. Gua harus nugas”

Setelah nya, Biru benar-benar pergi dan membiarkan mereka berbicara empat mata.

Tak henti-henti Mahen mengulas senyum, begitu juga Sahur tak henti-henti memandangi gazebo indah buatan Mahen. Buatan tangan Mahen sendiri.

Angin malam berembus menyentuh kulit mereka berdua. “Baju lo tipis banget. Kebiasaan dah. Kalo malem tuh pake baju, yang tebel ...” komentar Sahur.

Mahen tersenyum dan mengerjap kan mata. “Situ ngaca, dulu waktu sering kekurung di luar rumah sampai ketiduran di teras, pake baju tebel kaga?”

Sahur menatap Mahen sinis. “Stop bawa-bawa tingkah gue di masa lalu yang suka kekurung dan berakhir tidur di teras semalaman”

Ada satu pertanyaan sangat mengganjal. “Lo ga sepenuhnya bikin gazebo ini buat gue, kan? Buat Bunda sama Biru juga, kan?” tanya Sahur.

Mahen kesulitan menyeka setetes keringat di dahi akibat tangan yang lemah, namun segera di seka oleh Sahur. “Gazebo ini milik lu. Di peruntukkan untuk lu. Gua bangun pakai biaya dan keringat sendiri” tegas Mahen. “Walau, semenjak pakai kursi roda bukan gua lagi yang kerjain dan pakai tenaga kuli. Tapi ini, salah satu bentuk rasa bahagia gua karena Mama akhirnya luluh dan nerima kita berdua.”

Sahur tak habis pikir dengan jalan pikiran Mahen. Ia benar-benar di luar dugaan. Segala perbuatan dan tingkah laku Mahen, tak dapat di tebak atau di cegat.

“Ornamen tambahan, lampu, kayu dan cat nya juga gua pilih sendiri. Sesuai kesukaan lu, kan?” Mahen bertanya sambil terkekeh.

Sahur mendengus. “Sial. Lo tau gue luar dan dalam begini. Jadi merinding”

Gelak tawa pecah di antara dua anak adam itu. Atmosfer yang terbangun seolah menghangat, tak perduli sedingin apa angin menusuk kulit Mahen sampai ke tulang.

Sahur menatap Mahen lekat di antara cahaya temaram. Sahur memperhatikan raut wajah Mahen terlihat lelah dan pucat. Jika seperti ini, sudah pasti Mahen sedang menahan mati-matian rasa sakit di kepala.

Mahen tiba-tiba menggenggam jemari Sahur pelan dan berucap, “Pinjam bahu, kepala gua sakit hehe”

Sahur merasakan hal mengganjal menggerogoti hati dan pikiran.

“Kita masuk ke dalam rumah aja, yuk? Kasian lu kedinginan. Ngobrol di dalem aja kan hangat, gimana?” saran Sahur demikian Mahen menyamankan posisi kepala di bahu nya.

Mahen menggeleng keras.

“Disini ...” ucap Mahen pelan.

Mahen mengeratkan genggaman. “Disini aja” mata Mahen terpejam, “lu ... lebih hangat, dari rumah mana pun ...”

Sahur tersenyum getir. “Sekali aja serius, bisa?”

Hening. Tak ada jawaban.

“Lu ... bakal sama gue terus, kan?”

Mahen mengulas senyum tipis. “Gua, bakal selalu ada dalam hati lu dan gua, ada pada tiap angin yang berdesir ke arah lu” balas Mahen dengan suara semakin pelan.

Mata Sahur terpejam, air mata nya luruh tak tersuruh. Di luar kuasa Sahur, hati nya seolah rampung bak kaca pecah. Ucapan Mahen barusan berkelana bukan hanya pada hati Sahur, tapi isi kepala nya pun sudah terngiang akan kalimat itu.

Detik demi detik. Menit demi menit. Tiba-tiba Sahur merasakan genggaman tangan Mahen merenggang.

DEG!

Udara kian membeku, mendadak angin berhembus tak beraturan, pepohonan sekitar gazebo bergerak tak tentu arah, langit bergemuruh redam.

Sahur menyaksikan hal itu.

Tangan Mahen merenggang hingga terlepas sendiri nya dari genggaman Sahur.

Pandangan Sahur berubah buram di penuhi air mata pada pelupuk nya. Jantung Sahur berdetak lebih cepat dari sebelum nya.

Tahu-tahu, di saat bersamaan, darah berderai membasahi sweater senada langit cerah milik Sahur.

Tangis Sahur semakin jadi.

Ia menggenggam tangan Mahen yang membeku semakin erat.

Semakin erat Sahur menggenggam tangan Mahen, semakin banyak pula darah bercucuran.

Suara seseorang menginterupsi dari ambang pintu rumah. “Sa! Abang kenapa?????” teriak Biru.

Dengan segala kekuatan, Sahur memejamkan mata lalu perlahan beranjak berdiri menghadap Mahen. Pelan-pelan Ia melepas sandaran kepala Mahen dari bahu.

Sahur berlutut di hadapan Mahen. Tangan nya bergerak mengusap aliran darah yang keluar dari hidung dan telinga Mahen kelabakan. Tetapi darah itu terus mengalir, begitu juga air mata Sahur.

Kulit Mahen kini sedingin es batu, dada nya berhenti meghembuskan udara.

Biru tak tahan.

Ia berlari dari dapur ke arah gazebo di tengah langit bergemuruh dan angin kencang.

Jelas Sahur menatap dengan seksama, kepala Mahen terkulai lemah dengan mata terbuka. Seperti sudah tak bernyawa.

Mendadak hembusan angin kencang berdengung kuat di telinga Sahur. Menembus dan menusuk sweater tebal yang sebelum nya berwarna secerah langit, kini berlumuran darah.

Tubuh Sahur menegang. Ia pandangi dua tangan nya yang berlumuran darah milik Mahen.

Di tengah dunia Sahur yang berhenti berputar, ada Biru yang panik menjerit minta tolong. Di susul Mama Mahen tiba-tiba hilang kesadaran di dapur sana.

Sahur mendadak tak kenal dengan mata itu. Tak ada suasana teduh bahkan cahaya nya lagi. Tatapan mata Mahen kosong.

Sahur berdiri dan mundur beberapa langkah.

“Mahen ...”


Hujan berintensitas tinggi di belah oleh laju nya mobil Keenan menuju rumah sakit.

Di kursi penumpang ada Sahur yang tak henti-henti menangis dan menjerit. Sahur terus mencium dahi Mahen berharap Ia kembali bernafas.

Dari kursi depan, Bang Jo mencoba menenangkan Sahur. Keenan sendiri tak tahan mendengar isak tangis itu selama mengemudikan mobil, sungguh Keenan merasa terluka untuk kesekian kali tiap mendengar tangisan Sahur. Keenan memilih diam membisu. Keenan tak dapat berbuat banyak, Sahur tengah kalut berat.

Sampai nya di Instalasi Gawat Darurat, Sahur langsung di ambil alih oleh Keenan. Sementara Bang Jo dan perawat memindahkan Mahen masuk ke dalam ruang periksa.

Di tengah hujan deras, Keenan mencoba mengembalikan kesadaran Sahur yang kini terdiam lemas, berdiri tegak di depan pintu ruang gawat darurat.

Keenan yang melihat sweater Sahur berlumur darah, merasa tak enak untuk di pandang. Keenan segera melepas denim yang Ia kenakan dan membalut nya ke tubuh Sahur untuk menutupi noda darah tersebut.

Keenan menangkup wajah Sahur agar menghadap nya. “Saa, dengerin gua. Everything will be okay, everything will be fine. Sekarang ikut gua, kita cuci tangan lu yang berlumuran darah ini”

Saat Keenan hendak menyeret tubuh rapuh itu menjauh dari pintu ruang gawat darurat, mendadak langkah Keenan terhenti.

“Mahen, masih ada kan? Dia bakal selamat kan? Mahen, bakalan stay sama gue kan, Nan?” tanya Sahur memastikan.

Keenan tak sanggup membalikkan badan. Tatapan Sahur kini menyiksa Keenan jauh lebih dalam lagi. Diri nya menghening cukup lama, sampai akhirnya Dokter keluar dari ruang gawat darurat mendatangi mereka.

“Pasien tidak selamat akibat pembuluh darah pecah di kepala dan komplikasi ginjal. Waktu kematian 23.34 WIB. Saya selaku Dokter kepala IGD turut berbela sungkawa atas meninggal nya Mahen Andromeda. Saya permisi” Dokter berlalu pergi meninggalkan keheningan di antara mereka.

Masih dengan posisi menggenggam pergelangan tangan Sahur, cepat Keenan menarik Ia dalam pelukan. Jerit dan tangis Sahur remuk redam dalam peluk Keenan. Erat Keenan memeluk Sahur yang tak berdaya dan bahkan hampir terjatuh akibat tak sanggup lagi berpijak, setetes air mata Keenan akhirnya lolos. Keenan seolah membiarkan Sahur membagi lonjakan ombak kesedihan miliknya lewat pelukan mereka.

Di ujung ruangan, satu-satu nya manusia yang masih tegar walau sudah berlinang air mata menghubungi Biru.

“Mahen, udah pergi ke tempat yang lebih baik. Tempat di mana dia nggak merasakan pesakitan lagi” ucap Bang Jo.