#Esok.

Dari sini lah, Sahur berharap langkah yang Ia ambil ini benar. Kadang kala pilihan nya berubah-ubah antara bertahan tetapi bermatian, pergi berarti tak akan pernah kembali.

Ini semua bak jawaban dari perjalanan Sahur selama ini. Tuhan telah mempertemukan Sahur dengan salah satu pencarian terbesar dalam hidup nya: Mahen. Sahur menunduk, menatap barang-barang yang sudah tersusun dalam container barang.

Tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu kamar Sahur. “Udah?” itu Keenan.

Sahur terhenyak. Ia menggenggam erat pegangan container hitam tersebut. “Udah”

Kenyataan ini pahit. Semakin di pikirkan, semakin tidak masuk akal. Ini bukan sekedar mimpi buruk atau hal yang tidak nyata terjadi. Ini benar adanya, Sahur harus menghadapi semua ini dan tetap melanjutkan hidup.

Ayah sedang dinas keluar kota. Bunda? mustahil Ia perduli akan kepergian Sahur. Calya? belum pulang menginap dari rumah teman nya sedari 3 hari lalu.

Barang-barang yang ada dalam container nanti nya akan di kirim melalui cargo, langsung ke malang akan tetapi di pindah dahulu ke rumah Keenan.

Keenan menutup pintu belakang mobil dengan kuat, seraya berucap. “Ada yang ketinggalan? Dompet, charger, dokumen penting?”

Sahur menatap kosong bagian belakang mobil. “Ngga ada yang ketinggalan”

Sepersekian detik berikutnya, Sahur memandangi pekarangan rumah Mahen. Dalam pikir nya, Ia pasti akan sangat merindukan rumah itu berikut segala kenangan yang sudah terukir abadi di setiap sudut rumah Mahen. Selanjutnya, Sahur menatap jendela kamar Mahen tertutup rapat yang berhadapan dengan jendela kamar nya. Tempat ini, tak dapat di gambarkan oleh kalimat-kalimat karna kalimat saja tak akan cukup menggambarkan betapa indah nya kenangan dulu.

Dari arah berlawanan, tampak seorang gadis bertumpangi ojek online berteriak memanggil nama Sahur dari kejauhan. Itu Calya.

Calya turun dari motor tergesa-gesa, tangan nya gemetar. Pelupuk netra nya menampung air mata. Wajah Calya terlihat sangat letih. Berikut Ia menjinjing dua kotak makan berisi lauk pauk.

Calya menyodorkan kotak tersebut pada Sahur. “Ini ... Calya buatin rendang sama lauk kering yang bisa tahan seminggu. Takut nanti di Malang, Abang nggak sempet masak”

Dari pada mengambil kotak makan pemberian Calya, Sahur memilih untuk menarik Calya jatuh dalam pelukan nya. Sahur tak kuasa meninggal kan adik perempuan nya seperti ini.

Pada detik itu Calya langsung menangis. Calya menyembunyikan wajah nya pada bahu Sahur. Sungguh Calya tak percaya hal ini benar-benar terjadi. Bahu Calya berguncang tanpa bisa Ia tahan, bahkan hampir saja Ia tak bisa bernapas akibat menangis.

Sahur lalu melepas pelukan, sejenak mengambil kotak makan yang ada di tangan Calya dengan tangan kanan nya. Di posisi ini, Sahur berupaya menjadi sosok abang yang tegar untuk terakhir kali nya, Sahur lebih memilih untuk menahan mati-matian air mata agar tidak terlihat seperti menyesali keputusan yang Ia buat.

“Jaga diri baik-baik ya, Bu Dokter?”

Calya mengangguk lemah. “Iya. Pasti”

Kini saat nya untuk Sahur pergi.

Ia berjalan tegap memasuki mobil Keenan, meninggalkan Calya.

Saat Keenan hendak menyusul Sahur, Calya menarik lengan pemuda itu kuat seraya berkata. “Jaga Abang baik-baik. Jangan sampai ada setitik kesedihan lagi di hidup Abang. Semua ini udah cukup mengikis kebahagiaan Abang sedikit demi sedikit. Calya titip Abang ke kamu” ujar Calya penuh penekanan.

Keenan mengangguk untuk merespon lalu setelah nya benar-benar pergi meninggalkan Calya.

Mobil Keenan pun berlalu, membelah keheningan pagi itu.

Sedangkan Calya, Ia memegangi dua lutut nya yang lemas lalu meluruh begitu saja ke aspal jalan. Calya menangis bisu atas kepergian Sahur.


Sahur tiba di rumah Keenan. Ia di perintahkan Keenan untuk masuk terlebih dahulu, sementara Keenan sibuk mengambil koper berisi baju milik Sahur dalam bagasi mobil.

Dari depan pintu rumah mewah itu, berdiri Mami Keenan dengan tatapan khawatir yang terlontar untuk Sahur.

Sahur berjalan menunduk, menghadap ke Mami Keenan. Awal nya Ia berniat untuk menggapai tangan Mami Keenan dan memberi salam, akan tetapi pergerakan tak terduga terjadi, Mami Keenan membawa Sahur ke dalam pelukan.

Mami Keenan mengusap lembut surai coklat milik Sahur. “Tante turut berduka cita yaa, Sahur. Pasti ini berat sekali untuk kamu, Nak. Tapi tante yakin kamu anak yang kuat. Kamu bisa melalui ini semua”

Sesuatu bergerak tanpa aba-aba. Sahur menangis dalam pelukan Mami Keenan.

Dengan lembut Mami Keenan melepas pelukan, lalu beralih mengusap lembut pipi Sahur. “Udahan yaa nangis nya? Tante borong Ubi Cilembu buat kamu”

Sahur tersenyum tipis di sela-sela tangis. Melihat bagaimana cara Mami Keenan memperlakukan dia seperti anak sendiri.