#Membiru.

Tepat pukul sembilan malam, Biru baru saja usai mengurus pekerjaan kampus. Bisa dikatakan, Ia termasuk mahasiswa aktif dan pulang lewat waktu seperti ini bukan lah hal baru.

Berdiri Biru disebelah motor tua kepunyaan nya, manik selaras langit malam itu menelisik satu kantong plastik transparan berisi satu ekor ikan emas, berikut air tawar didalam nya. Biru terkekeh, melahirkan senyum manis, setakat netra nya membentuk lengkungan indah sempurna.

Biru menjinjing tinggi plastik tersebut supaya sejajar dengan wajah nya, Ia berbisik sendirian. “Kamu pasti suka sama Mama. Semoga Mama juga suka sama kamu, ya?”

Bulir demi bulir air langit turun, menetes tepat dikulit wajah anak adam yang tengah berandai-andai dapat merebut afeksi sang Mama. Biru menengadah, air tuhan turun. Bolehkah Biru meminta sesuatu?

Biru tersenyum, memandang langit kelabu diatas sana. “Mudah mudahan Mama sudi terima hadiah dari Biru. Belum seberapa memang, setidaknya ikan ini bisa jadi tempat Mama cerita kalau Mama letih, kerja banting tulang....”

Sungguh, Biru benar-benar paham perilaku Mama dan segenap perbuatan tak adil nya itu. Trauma masa lalu yang mengharuskan Mama berdamai pada keadaan adalah bagian dari konsekuensi yang berimbas pada Biru. Mau tidak mau, suka tidak suka, Biru di paksa menanggung pedih sendirian dan bersikap seolah baik-baik saja demi Mama. Demi ketenangan hidup Mama.

Selama di jalan pulang, Biru terbayang akan angan-angan jika saja Mama dapat melirik nya, memvalidasi keberadaan nya.

Serta merta, wajah dan perawakan Papa yang serupa Biru terlintas. Biru ingat betul betapa hancur nya Ia dibuang Papa pada malam itu, lebih tepat nya keluarga Biru dibuang oleh Papa dimasa lampau. Ingatan dimana Biru masih berumur 5 tahun, menangis kencang ketika Papa bertengkar hebat dengan Mama di ambang pintu rumah terputar kembali bak rentetan film lama penuh nestapa.

Ingatan kelam itu melebur hancur seiring air tuhan menetes kian deras. Semuanya lebur beriak-riak mengoyak perasaan Biru. Namun tetap Ia tahan. Biru memilih untuk memendam, walau jiwa nya tak sanggup lagi menanggung lebam lebih dalam.


“Abang mau lauk yang mana? Sini, Mama ambilkan” tawar seorang Wanita.

“Ini aja cukup kok. Sisa nya untuk Biru. Biru suka banget sama sayur lodeh buatan Mama” tolak si sulung.

Hening. Rinai hujan diluar rumah menjadi pelengkap suasana makan malam Mahen dan Mama. Mama selalu berbincang tentang banyak hal pada Mahen, termasuk perihal operasi pengangkatan tumor glioma batang otak anak sulung nya.

Tak lama kemudian, Mama menyudahi makan malam lalu bergegas menyiapkan obat-obatan yang harus Mahen konsumsi.

Mama menggapai punggung tangan Mahen, mengusap nya perlahan. “Masih sering muntah, Abang?”

Mahen menggeleng lemah. “Nggak. Cuma pusing nya makin menyiksa”

Tangan Mama beralih pada peluh tipis di pelipis Mahen dan menyekanya lembut. “Abang sembuh. Pasti sembuh. Uang hasil kerja Mama memang belum seberapa, tapi Mama percaya, Abang anak yang kuat. Andai bisa di tukar, lebih baik Mama yang menanggung penyakit ini”

Setengah mati, Mama menahan air mata.

PRAANG!!

Mendadak suara pecahan kaca menggema ke seluruh penjuru rumah. Suara pecahan tersebut berasal dari aquarium mini yang terlepas begitu saja dari genggaman seorang pemuda.

Itu Biru. Tengah berdiri menatap Mahen dan Mama penuh amarah, bahu nya bergetar. Sorot mata menyakitkan yang tak pernah Biru tampilkan, menusuk jauh Mahen dan Mama ke dasar hati mereka. Air mata dan kesedihan yang selama ini enggan biru tunjukkan, pada akhirnya runtuh. Ia meremat kuat-kuat pegangan ransel nya.

Mahen langsung berdiri dari kursi. Kerongkongan Mahen tercekat. Begitupun Mama, sama panik nya seperti Mahen. Mama seolah ingin berucap sesuatu, namun tertahan kan dan berakhir tak ada sepatah kata pun yang terlontar.

Biru mengangkat suara. “Emang gua ga pernah dianggap di keluarga ini”

Lantas Biru angkat kaki dari tempat nya berdiri menuju kamar di lantai atas. Berkali-kali Mahen memanggil nama adik nya sembari menyelamatkan satu ekor goldfish diantara pecahan-pecahan aquarium. Setelah menyelamatkan goldfish, Mahen segera menyusul Biru ke lantai atas. Mahen harus menjelaskan ini semua.

Biru menutup rapat-rapat pintu kamar sebelum Mahen berhasil masuk. Ia menangis menjerit-jerit, emosi yang Ia tahan selama ini meluap-luap bagai letusan gunung berapi. Biru melampiaskan amarah dengan memukul cermin besar dikamar nya. Dalam sekali pukulan cermin itu rampung, kayu penyanggah nya Biru banting sembarang arah. Biru menyambar segala barang yang ada disekitar nya untuk dihancurkan.

Biru menatap buku tangan nya yang berdarah-darah. Bercampur dengan senggukan, Biru berteriak penuh pesakitan. Sedang diluar kamar, Mahen merintih lirih memanggil nama Biru diantara suara pecahan-pecahan barang yang bersautan.

Mahen memerintahkan Biru untuk berhenti melukai diri nya sendiri, meminta Biru untuk membuka pintu dan memberi Mahen satu kesempatan untuk menjelaskan semua ini. Namun hasilnya nihil, Biru terus menerus membanting barang dan meneriaki Mahen dari dalam kamar untuk diam. Sumpah serapah Biru lontarkan untuk melepas seluruh amarah yang tertahankan.

Lagi, Mahen merutuki penyakitnya. Orang-orang sekeliling nya menderita akibat diri nya.

Tak lama, dengan gerakan sempoyongan membuka pintu kamar dengan kasar. Begitu Mahen tahu pintu kamar terbuka, Ia bergegas masuk tak lupa tas P3K digenggaman nya.

Biru terduduk menung di ambang kasur. Bingung. Tak tahu lagi barang apa yang harus Ia hancurkan didalam kamar nya. Biru tenggelam pada pikiran nya sendiri.

Mahen mengamati Biru seksama, dan juga kamar bak kapal pecah tersebut. Hati nya hancur lebur menyaksikan sisi lain dari Biru yang hampir tak pernah Ia perlihatkan seperti ini. Mahen mengambil posisi duduk disebelah Biru.

Saat Mahen mencoba menggapai tangan Biru yang penuh luka dan darah, tiba-tiba Biru membuat pergerakan dan beranjak dari kasur menuju lemari. Biru mengambil sesuatu dari dalam sana.

Sebuah buku tabungan.

Lambat, Biru duduk merapat disebelah Mahen, menyodorkan buku tersebut pada nya. Ia berbicara gemetar “Ambil. Gak seberapa, tapi ini tabungan dari Biru masih SMP. Lumayan untuk nutupin uang berobat Abang”

Biru mengusap air mata nya. “Cepet sembuh. Nanti Biru sama siapa kalau Abang ga ada?”

Mahen langsung menarik Biru kedalam dekapan. Mengusap-usap punggung Biru penuh sayang. Biru menangis semakin jadi.

“Nangis sepuas nya, Biru. Maafin Abang...” desis Mahen.

“Maaf karna gua ga bisa jadi tulang punggung keluarga, ga bisa gantiin posisi Papa buat lu sama Mama. Maaf juga kalau nanti gua gak sanggup lagi berjuang ngelawan penyakit ini...”

Tangan penuh darah milik Biru meremat kaos putih Mahen menjejakkan bercak darah disana. Biru memanggil Mahen, isak nya terus menerus semakin jadi.

Tak sanggup lagi berujar dan mengekspresikan betapa hancur diri nya, Biru memeluk erat-erat punggung Mahen. Ia pernah patah berkali-kali, namun yang kali ini seolah membunuh nya. Mahen tak perlu meminta maaf atas semua hal yang bukan salah nya, Biru hanya ingin Mahen fokus pada kesembuhan nya. Alasan Biru marah adalah kenapa hal sepenting ini ditutup tutupi dari Biru? Bukankah Ia juga bagian dari keluarga ini?

Sementara dilantai bawah, Mama turut menangis sembari memotong sayur mayur untuk catering esok hari. Ada satu hal yang menahan Mama untuk tidak ikut andil perihal Biru. Hal apapun itu, tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti, dilubuk hati terdalam, Mama mencintai Biru sama seperti Mama mencintai Mahen.