apricothyuck

#Nestapa.

Sahur memilih untuk tetap tinggal dengan kondisi yang semakin drop.

Keenan diminta oleh Sahur menunggu didalam mobil. Figur bersurai coklat itu tak mau Keenan menyaksikan diri nya memuntahkan seluruh isi perutnya dibelakang mobil.

Geram, Keenan bergegas turun dan menyiapkan satu botol air mineral untuk menenangkan Sahur yang tengah muntah sembari menangis. Bodoh nya Keenan, mengapa Ia patuh akan permintaan konyol Sahur.

Ada sesuatu yang luluh lantak dihati Sahur, kepingan kepingannya seolah merujam seluruh tubuh, membuat Sahur meringkuk dibalik mobil, memeluk kedua kaki menahan lara yang bahkan Sahur sendiri tak bisa ingat kenangan masa lalunya.

Segala emosi yang sengaja Sahur tutup rapat-rapat selama ini, kini memuncak, bergejolak, beriak-riak seiring tangisan mulai membasahi pipi nya.

Keenan berjongkok menyamakan posisi, mengangkat wajah Sahur pelan, melirik nya lalu mengusap air mata Sahur dengan ibu jari nya.

“Kita pergi dulu, nanti balik lagi. Kita cari tempat makan terdekat. Abis muntah pasti laper”

Sahur masih sesenggukan. Isak nya belum berhenti, bahkan semakin jadi. Sahur merunduk, kuat tangan nya memeluk kedua kaki nya. “Nan, sakit”

“Kenapa Bunda sekasar itu? Gue bahkan gak inget, gue ini kenapa? Gue anak siapa? Kenapa gue menyimpang? Kenapa suka nya sama sesama jenis?”

Sahur memukul kepala nya berkali kali. Sakit.

Keenan susah payah menghentikan Sahur, lantas hati nya pun tak sekuat itu. Keenan menangis pilu.

“Iya. Udah ya?” ujar Keenan. Tangan nya beralih mengusap punggung Sahur.

“Ini nggak adil, Nan. Gue bahkan gak tau siapa gue sebenarnya, gue gak ingat” timpa Sahur.

“Bagus nya gue mati aja”

“Gua bakal beneran marah kalo lu ngomong begitu lagi. Angkat dagu lu! Lu ini kuat! Lu udah sejauh ini berarti lu kuat! Gak semua orang sanggup jadi lu, Sahur”

Beberapa saat hening, Keenan masih mengusap punggung Sahur sampai diri nya tenang.

Pada akhirnya Keenan membantu Sahur berdiri. “Sekarang, kita pulang dulu. Susun baju-baju Calya trus nanti anter kesini lagi. Barusan Zuhri telepon, katanya motor lu udah dibawa pulang dari tempat ngajar. Sekarang, Mahen nungguin lu di rumah”

Seketika Sahur sadar, setidak nya ada Mahen. Lalu mengiyakan ajakan Keenan untuk pulang.


Sesampai nya di rumah, Keenan dan Sahur mendapati Mahen sedang duduk termenung diteras.

Sadar akan suara mobil, Mahen pun beranjak dari duduk nya lalu menghampiri Sahur. Sahur sendiri menghambur diri ke pelukan Mahen. Untuk sekarang, ini yang Sahur mau timbang mengisi perut nya.

Mahen menatap Keenan bertanya-tanya. “Kenapa?” bisik nya pada Keenan.

Keenan mengangguk. “Bunda nya bikin ulah lagi”

Kini Sahur sudah ditangan Mahen. Sahur terlihat sangat lega dipelukan Mahen.

Kini Keenan terdiam, melihat pemandangan didepan nya. Begitu berarti kah seorang Mahen untuk Sahur?

Pasti.

Karena Keenan hanyalah figuran. Bukan pemeran utama.

#Nestapa.

Sahur memilih untuk tetap tinggal dengan kondisi yang semakin drop.

Keenan diminta oleh Sahur menunggu didalam mobil. Figur bersurai coklat itu tak mau Keenan menyaksikan diri nya memuntahkan seluruh isi perutnya dibelakang mobil.

Geram, Keenan bergegas turun dan menyiapkan satu botol air mineral untuk menenangkan Sahur yang tengah muntah sembari menangis. Bodoh nya Keenan, mengapa Ia patuh akan permintaan konyol Sahur.

Ada sesuatu yang luluh lantak dihati Sahur, kepingan kepingannya seolah merujam seluruh tubuh, membuat Sahur meringkuk dibalik mobil, memeluk kedua kaki menahan lara yang bahkan Sahur sendiri tak bisa ingat kenangan masa lalunya.

Segala emosi yang sengaja Sahur tutup rapat-rapat selama ini, kini memuncak, bergejolak, beriak-riak seiring tangisan mulai membasahi pipi nya.

Keenan berjongkok menyamakan posisi, mengangkat wajah Sahur pelan, melirik nya lalu mengusap air mata Sahur dengan ibu jari nya.

“Kita pergi dulu, nanti balik lagi. Kita cari tempat makan terdekat. Abis muntah pasti laper”

Sahur masih sesenggukan. Isak nya belum berhenti, bahkan semakin jadi. Sahur merunduk, kuat tangan nya memeluk kedua kaki nya. “Nan, sakit”

“Kenapa Bunda sekasar itu? Gue bahkan gak inget, gue ini kenapa? Gue anak siapa? Kenapa gue menyimpang? Kenapa suka nya sama sesama jenis?”

Sahur memukul kepala nya berkali kali. Sakit.

Keenan susah payah menghentikan Sahur, lantas hati nya pun tak sekuat itu. Keenan menangis pilu.

“Iya. Udah ya?” ujar Keenan. Tangan nya beralih mengusap punggung Sahur.

“Ini nggak adil, Nan. Gue bahkan gak tau siapa gue sebenarnya, gue gak ingat” timpa Sahur.

Beberapa saat hening, Keenan masih mengusap punggung Sahur sampai diri nya tenang.

Keenan membantu Sahur berdiri. “Sekarang, kita pulang dulu. Susun baju-baju Calya trus nanti anter kesini lagi. Barusan Zuhri telepon, katanya motor lu udah dibawa pulang dari tempat ngajar. Sekarang, Mahen nungguin lu di rumah”

Seketika Sahur sadar, setidak nya ada Mahen. Lalu mengiyakan ajakan Keenan untuk pulang.


Sesampai nya di rumah, Keenan dan Sahur mendapati Mahen sedang duduk termenung diteras.

Sadar akan suara mobil, Mahen pun beranjak dari duduk nya lalu menghampiri Sahur. Sahur sendiri menghambur diri ke pelukan Mahen. Untuk sekarang, ini yang Sahur mau timbang mengisi perut nya.

Mahen menatap Keenan bertanya-tanya. “Kenapa?” bisik nya pada Keenan.

Keenan mengangguk. “Bunda nya bikin ulah lagi”

Keenan terdiam melihat pemandangan didepan nya. Begitu berarti kah seorang Mahen untuk Sahur?

Pasti.

Karena Keenan hanyalah figuran. Bukan pemeran utama.

#Pilu.

Detik demi detik. Menit demi menit. Rasa bersalah kian menghantui Sahur dan tak sedikit pun lesap dari benak nya. Seluruh kekuatan Sahur tandas menyaksikan Calya, harta satu satu nya yang paling berharga terbaring tak sadarkan diri didalam ruangan gawat darurat Rumah Sakit Tentara sore ini.

Ditemani Keenan, Sahur berdiri mematung tepat didepan pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.

Ditangannya, Sahur menggenggam erat erat ponsel milik Calya. Jaga jaga jika Bunda menelepon. Namun sayang, Bunda sudah tahu duluan perihal ini oleh Joshua sebelum nya, saat Calya pertama kali sampai di rumah sakit.

“Sahur, lu belum makan dari siang. Gua pergi beliin lu roti dulu ya ke kantin bawah?” ujar Keenan.

“Gue gak laper” jawab Sahur pendek.

“Jangan bandel kalo dibilangin. Gua pergi sebentar doang kok. Seenggaknya perut lu ada isi nya....”

Sahur memilih bungkam. Terlalu menguras energi jika harus berdebat dengan Keenan disituasi seperti sekarang.

Keenan mengamatinya tanpa berkomentar. Keenan kelewat khawatir dengan tubuh rapuh dihadapan nya ini. Tubuh itu mudah jatuh sakit.

Tanpa pikir panjang, Keenan pun pergi meninggalkan Sahur untuk membeli roti di kantin lantai bawah.


Terdengar suara langkah kaki beradu dengan marmer lantai rumah sakit. Terburu buru, langkah tersebut dihiasi isak tangis pilu seorang Wanita.

Itu Bunda.

Tergopoh-gopoh Bunda menggapai pintu ruang gawat darurat, sampai akhirnya Ia berlalu ke dalam ruangan tanpa menghiraukan Sahur yang berdiri tepat dihadapan nya.

Bunda menghampiri Calya. Bunda menangis. Hati nya remuk redam melihat kondisi anak yang paling disayangi nya terbaring lemah dengan lengan kiri patah, lecet parah dikedua kaki dan luka berdiameter cukup besar bersarang pada dahi buah hati nya.

Bunda murka. Amarah nya menguar beriak riak seiring tangis nya kian pecah ditengah keramaian ruang gawat darurat tersebut.

Sampai pada titik, Bunda terdiam. Menghapus kasar air mata yang menetes tak henti henti. Ini semua salah Sahur, pikir nya.

Bunda keluar dari ruang rawat darurat dan menemukan Sahur.

Bunda menarik kasar lengan anak laki-laki nya. “IKUT SAYA!”

Dibawa nya Sahur sendikit menjauh dari pintu ruang gawat darurat menuju lobby, kemudian satu tamparan keras mendarat tepat pada wajah Sahur.

Tubuh rapuh itu luruh ke lantai dingin rumah sakit.

Bunda meraih kerah hoodie Sahur. “ANAK PEMBAWA SIAL! SEHARUSNYA KAMU SAJA YANG CELAKA!” teriak nya didepan wajah Sahur.

Aktifitas lobby rumah sakit terhenti seketika atas kericuhan yang dibuat Bunda. Seluruh atensi tertuju pada mereka berdua.

Bunda melontarkan sumpah serapah pada Sahur dihadapan banyak orang. Belum lagi Bunda bermain fisik, mendorong, menjambak, bahkan hampir mencekik Sahur. Tak ada satu orang pun yang berani melerai.

“LIHAT APA YANG KAMU PERBUAT ANAK PEMBAWA SIAL????!!!! DARAH DAGING SAYA CELAKA DAN HAMPIR MATI DIDALAM SANA! KENAPA BUKAN KAMU!” teriak nya penuh penekanan.

Sahur tidak melawan sedikit pun. Pikir nya Ia pantas mendapat perlakuan ini, Ia pembawa sial.

“BERDIRI KAMU ANAK SIALAN!”

“SATU HAL YANG KAMU HARUS TAU! SAYA MENYESAL MENAMPUNG KAMU DIKELUARGA SAYA! KAMU BUKAN DARAH DAGING SAYA!” satu tamparan lagi sukses mendarat diwajah Sahur.

“SEMUA NYA HANCUR SEMENJAK KAMU HADIR! KELUARGA SAYA HANCUR KAMU TAHU?!!!!! PANTAS NYA KAMU MATI SAJA DALAM KEBAKARAN ITU BERSAMA IBU MU!!!”

Dari kejauhan dapat Keenan lihat, orang orang tengah mengerumuni Sahur dan Bunda nya. Keenan berlari secepat mungkin ke arah Sahur untuk menghadang tamparan selanjutnya.

Keenan menarik lengan Sahur mundur dari hadapan Bunda, dan menyembunyikan nya dibalik punggung nya. “Tante cukup! Ini tempat umum! Tolong selesaikan masalah ini nanti di rumah!”

“Kenapa kamu bela dia, Keenan?” sorot mata amarah itu beralih menatap Sahur dibalik punggung tegap Keenan.

“Pacar homo kamu yang keberapa si Keenan ini??? Jangan kamu fikir saya dan suami saya tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini, anak pembawa sial. Kamu membawa laki laki masuk ke rumah lewat jendela kamar”

Air mata Sahur tak terbendung lagi, pertahanan nya ambruk. Hal sensitif seperti ini, Bunda ucapkan didepan orang ramai?

“Stop! Ini udah kelewatan! Orientasi sexual seseorang gak perlu tante seret seret ke dalam masalah ini!”

Keadaan semakin ricuh, adu mulut Keenan dan Bunda tak dapat dihentikan siapapun, sampai akhirnya pihak keamanan rumah sakit datang untuk membubarkan keramaian dan melerai kekacauan.

Bunda diamankan oleh pihak keamanan sedangkan Keenan membawa Sahur keluar menjauh dari keramaian. Sahur meremat erat genggaman tangan Keenan. Tamat sudah riwayat nya, ternyata selama ini kedua orang tua Sahur tahu perihal Mahen.

Disisi lain koridor, seorang lelaki berpakaian rumah sakit lengkap yang akan menjalankan sebuah terapi menatap nanar keributan itu. Mahen menangis pilu membisu, melihat perilaku yang tak sepantas nya Sahur dapatkan. Terlebih lagi diri nya tak bisa jadi tameng pelindung untuk Sahur.

Mahen mengutuk penyakit nya berpuluh puluh kali.

o n e i r a t a x i a

(n.) Ketidakmampuan untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan


Johnny mengedarkan netra hazel nya keseluruh penjuru kediaman Jaehyun. Sejak sepuluh menit berlalu, Johnny belum menemukan objek jemputan nya, mengingat Jaehyun yang membuat sebuah janji pertemuan pagi ini dari jauh hari.

Kesayangan nya itu ingin bertamasya ke salah satu taman bunga yang baru saja buka di kota mereka. Kebetulan taman bunga tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Jaehyun.

Tak jauh dari tempat Johnny berdiri tepat di luar pagar rumah tipe 36 tersebut, seseorang sedang tergesa-gesa menyusun barang bawaan yang ia letak-kan secara paksa dalam keranjang sepeda.

Ya, itu Jaehyun kesayangan nya.

Melihat hal tersebut, Johnny segera beranjak dari sepeda gunung nya untuk menyambangi Jaehyun.

Hey, need some help?” berat suaranya mengujar lembut.

“Iya aku butuh. Lihat, ini semua tidak bisa masuk sepenuh nya kedalam keranjang ku!” rengut Jaehyun.

Johnny mengerjap sesaat. “Kenapa barang bawaan mu banyak sekali? Kau pikir keranjang sekecil ini muat untuk bawaan sebanyak ini?”

Jaehyun mengamati kembali barang bawaan nya. “Benar juga. Baiklah. Aku akan bawa kotak bekal isi roti ini saja dan dua botol air mineral untuk kita” ucap Jaehyun sambil tersenyum pada Johnny lalu terukir lesung di pipi nya.

Yang lebih besar pun membalas senyuman dengan tak kalah manis. Ia mengacak surai ikal panjang milik Jaehyun yang berwarna kecoklatan sayang.

“Makanan sudah. Air mineral sudah. Kamera sudah. Apa yang belum ya, Johnny?”

Sweater tebal mu” ujar yang lebih besar sembari memeriksa ban sepeda si kecil.

Kembali nya dari dalam rumah untuk mengambil sweater, Johnny menatap Jaehyun dengan seksama. Ia menatap mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki Jaehyun.

Si kecil terlihat sangat manis mengenakan sweater oversize berwarna hijau bertuliskan 'LOS ANGELES' ditambah celana kain yang pendek nya selutut berwarna merah hati. Lalu sepatu kets berwarna mocca lengkap dengan kaus kaki putih bersih. Dan jangan lupakan rambut coklat halus milik Jaehyun yang bersinar akibat terpapar cahaya Mentari.

“Kenapa? Aku semanis itu, ya?” tanya Jaehyun dengan nada yang dibuat menggoda.

Setengah mati Johnny menahan senyum geli yang spontan ingin membersit. “Lihat, pipi mu sangat merah seperti udang rebus. Kau lupa memakai tabir surya mu, iya?”

Jaehyun melemparkan tatapan sinis. “Johnny! Jangan mengalihkan topik pembicaraan! Akui saja kalau aku ini memang manis!”

“Baiklah. Kau paling manis, Jaehyun. Sangat manis” Johnny berujar lembut, menghela napas samar.

Pipi Jaehyun bersemu merah mendengar pujian dari bibir Johnny yang memang harus di minta terlebih dahulu baru pacar nya itu akan berkata jujur.


“Jaehyun sudah cukup main-main nya. Ayo makan” seru Johnny dari kejauhan.

Di sisi lain, Jaehyun tengah sibuk bermain kesana kemari dengan anjing tua penunggu taman bunga itu.

Senyum Jaehyun mengembang lebar begitu obsidian disana menangkap siluet dengan punggung tegap tengah duduk membelakangi diri nya. Punggung pria yang amat Ia sayangi.

Cepat lelaki itu memperbesar langkah nya untuk menghampiri yang lebih besar.

“Johnny! Johnny! Ternyata dia jinak” Jaehyun berbinar-binar.

Bibir Johnny tak kuasa membentuk senyuman. “Kemarilah. Akan ku foto kalian berdua”

Setelah puas saling berfoto-foto bersama anjing tua tersebut, mereka memutuskan untuk menyantap bekal isi sandwich buatan Jaehyun.

Jaehyun tersenyum simpul. “Kau suka?”

“Suka. Apapun masakan mu, pasti tidak pernah mengecewakan lidah ku” ujar Johnny setelah menelan satu gigitan sandwich buatan Jaehyun.

Selesai dengan urusan lambung, mereka bersantai diatas rumput beralaskan kain satin berwarna putih sambil menatap hamparan bunga-bunga bermekaran yang terlihat sangat indah tersorot cahaya Mentari untuk menghabiskan waktu.

Sampai pada akhirnya netra mereka saling bertemu. Hening beberapa saat.

“Johnny, sesungguh nya rencana mengajakmu bertamasya pagi ini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan”

Dahi Johnny sontak berkerut. “Perihal?”

“Kita─cukup sampai disini......”

“Jae, what do you mean?” potong Johnny.

Terdengar napas panjang Jaehyun mengembus. “Aku akan menikah. Terhitung sebulan dari sekarang, bersama wanita pilihan Ibu”

After everything we've been through, Jae?” suara yang lebih besar meninggi.

Jaehyun menyaksikan perubahan air muka Johnny. “Johnny, maaf. Aku minta maaf”

Dengan sedikit gemetar, Jaehyun berdiri hendak meninggalkan Johnny di taman bunga itu, tapi lengan nya segera ditarik pria yang akan Ia tinggalkan.

Air mata Johnny pecah. “Don't leave me....please....” Johnny bersimpuh diatas kedua lututnya, memeluk kaki Jaehyun.

Please, say something Jae, apa saja─apa saja yang kau ingin kan, pasti akan ku beri. Tapi tolong, jangan seperti ini. Jangan buang aku” tangis Johnny kian menjadi saat Jaehyun akan beranjak menjauh.

I've lost so much already, I can't lose you too....

Namun terlambat, saat itu juga Jaehyun benar-benar sudah lenyap dari pandangan nya. Johnny berteriak, menyerukan nama Jaehyun bak pesakitan tetapi Jaehyun tetap pada jalan nya, tidak menoleh sedikit pun.

Pada waktu yang sama, Johnny hanya bisa menangis, dan memberontak sekuat tenaga kala dirinya justru seolah ditahan dan terhisap mundur oleh banyak tangan yang mencengkram di sekeliling nya.

Johnny tidak menyerah dan terus memberontak tanpa memikirkan orang-orang asing disekeliling yang menarik diri nya semakin mundur agar tetap tenang.

“Jaehyun! Jangan tinggalkan aku!” teriak Johnny semakin kencang, pun air mata nya tak berhenti mengalir. Rasa sakit ini sangat menyiksa.

Tiba tiba saja, ntah dari mana asalnya, seorang wanita asing berpakaian serba putih menangkup wajah Johnny untuk menenangkan nya. Menutup pandangan Johnny sepenuh nya dari punggung mungil milik Jaehyun.

“Pak, sudah cukup! Jangan memberontak! Tidak ada yang namanya Jaehyun disini! Kau terlalu larut pada delusi mu!”

“MINGGIR! LEPASKAN AKU!” bentak Johnny kasar dan hampir melukai wanita tersebut. Tapi semakin memberontak, semakin banyak pula tangan yang menahan tubuh nya.

“Pak, tolong tenang sedikit!” Wanita asing tersebut kewalahan saat ingin menyuntikkan bius pada tubuh besar Johnny.

“APA YANG KAU─” seluruh otot syaraf ditubuh Johnny melemah seketika. Diri nya jatuh tersungkur ke rumput gersang.

Seluruh dunia Johnny mendadak hening.

Kepala nya berputar hebat.

Johnny masih berusaha mencerna keadaan.

Pandangan nya berkunang-kunang, mata nya mengerjap pedih. Seiring bius menjalar dengan cepat dalam darah.

Terik matahari menembak lurus ke netra nya. Sangat menyilaukan.

Bius berhasil melumpuhkan seluruh tubuh Johnny, tapi tidak dengan kesadaran nya.

Johnny mengangkat mukanya perlahan-lahan. Mata sayu itu masih mampu menelisik orang-orang asing disekeliling nya, orang-orang tersebut berseragam rumah sakit dengan bau obat-obatan yang menyengat.

Netra hazel itu berhenti pada satu siluet yang Ia kenal. Penglihatan Johnny menangkap seorang lelaki yang amat Ia cintai.

“Jaehyun.....” ucap Johnny lirih.

Tidak jauh beberapa meter dari tempat yang sama, yaitu pekarangan bagian belakang Rumah Sakit Jiwa, Jaehyun menangis bisu menyaksikan separuh semesta nya terkujur lemah dibawah pengaruh bius.

Jaehyun menunduk, mengerjapkan mata. Ia hampir tidak bisa melihat apa-apa dari netra nya yang kian mengabur.

Hati Jaehyun menginterupsi untuk berhambur pada tubuh lemah Johnny disebrang sana, namun raga nya tak sanggup menabur trauma lebih banyak lagi pada Johnny.

“Jaehyun? tumben sekali pagi-pagi sudah berada disini......” ucap seorang pria ber-jas putih yang menepuk bahu nya pelan.

Sadar, Jaehyun pun mengusap air mata nya pelan. “Ah─ Jaemin. Aku hanya rindu pada Johnny. Hampir satu tahun aku tidak mengunjungi nya”

“Tapi, istri mu? Apa dia tau?” tanya Jaemin.

“Tidak. Rosé tidak pernah tahu perihal Johnny, sedikit pun”

Jaemin terkesiap, lalu diam beberapa saat.

“Skizofrenia Johnny tak kunjung membaik dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Ia hanya bisa tenang ketika bius berhasil masuk pada tubuh nya. Ditambah lagi pagi ini diri mu tertangkap oleh penglihatan Johnny, sehingga trauma masa lalu dimana saat kau meninggalkan nya terputar kembali” jelas dokter muda tersebut.

Jaehyun semakin merunduk, hati nya remuk berkecamuk. “Maaf”

Jaemin menatap nanar temannya. “Apa boleh buat Jaehyun, lagi pun Johnny sekarang sudah sedikit lebih tenang dibawah pengaruh obat”

Jauh dalam hatinya, Jaehyun sangat menyesali perlakuan nya dua tahun silam pada Johnny. Meninggalkan pria itu begitu saja dan menyisakan penyakit gangguan jiwa yang berat pada Johnny. Merusak seluruh kehidupan nya, dan ini adalah penyesalan terbesar dalam hidup Jaehyun, andai saja mereka tidak dipertemukan takdir mungkin ujung nya tidak akan sepedih ini untuk mereka berdua.

Jika saja masih diberi kesempatan untuk mendoakan hal baik kepada Johnny setelah semua hal buruk yang menimpa, Jaehyun hanya ingin satu hal.

You deserve all the happiness, John

─── oneirataxia usai.

Bersabar

“Sa, ada apa? Kenapa?”

Yang ditanyai hanya menggeleng pelan. Sedari tadi setelah sholat ashar berjamaah di kamar Mahen, ia mencoba segala cara agar Sahur mau membuka suara. Namun tak digubris. Kesayangan nya itu hanya menunduk memandangi tikar sholat di bawah kaki nya.

“Masalah kuliah ya Sa? Atau masalah keluarga?” ujar Mahen sehati-hati mungkin. Sahur tampak seperti boneka kaca yang mudah pecah jika tersentil sedikit saja.

Sunyi. Yang terdengar hanya helaan nafas mereka satu sama lain.

“Sebenar nya─” nafas Sahur tercekat saat ia berusaha menumpahkan beban yang ia rahasiakan rapat-rapat dari siapapun di hadapan Mahen.

“Selama ini gue dapat perilaku kasar dari Bunda secara tidak langsung. And no one notice that. Sekalipun apatis nya Bunda terpampang jelas dihadapan keluarga, ga ada yang berani negur atapun sekedar bertanya kenapa Bunda begitu. Bahkan Ayah seolah nggak sanggup melakukan sesuatu....”

“Lu dikasarin gimana sama Bunda lu?”

“Kasar nya di chat”

“Mana, sini gue baca chat nya”

Sahur merogoh saku celana jeans lalu menunjuk-kan isi chat nya dengan Bunda. Tak butuh beberapa menit membaca semua pesan yang berisi 100% ungkapan kebencian itu, Mahen buru-buru menghapus history chat tersebut. Sakit. Rasanya seperti dihujam puluhan pisau.

“Mahen kenapa dihapus??????????”

“Maaf kalo gue lancang, Sa. Tapi Bunda lu emang kelewatan. Kalau emang chat dari dia yang bikin lu jadi terpuruk selama ini, ya pantes nya di hapus. Buat apa di simpan”

“Tapi gue bersyukur, itu tanda nya Bunda masih perduli kan sama gue, Hen? Kalau dia nggak perduli mungkin dia nggak sudi nge-chat gua, Mahen. Dan mungkin aja gue udah di tendang keluar dari rumah. Gue sayang Bunda. Memang gue sebagai anak sering gak tau diri” ujar Sahur setengah meratap.

“Sa, gue yang bukan darah daging nya aja bisa ngerasain kebencian mendalam dari ketikan Bunda lu. Gue bingung nya, lu berbuat apa dulu sebelum kecelakaan besar dan Amnesia sampai dapat perilaku segini kejam nya, dari Bunda kandung sendiri lagi. Coba bicarain ini ke Ayah lu, gue yakin dia pasti bisa lurusin ini semua dan mengerti posisi lu”

Sahur menggeleng keras. “Sering kali Ayah sama Bunda ribut dan cekcok besar hanya karna kecerobohan gua, Hen. Lagi pun sedari gue di vonis lupa ingatan, seperti ada yang mati di dalam sini,” Sahur menunjuk dadanya sendiri, “semakin gue mencoba mencari tau, gue pun semakin merasa terpuruk atas ini semua dan merasa nggak berguna hidup didunia. Kenapa pas kecelakaan dulu gue gak di ambil Allah aja sekalian....”

“SAHUR! JAGA OMONGAN LU! HIDUP ITU ANUGRAH! MUDAH BAGI LU BUAT MILIH MATI IYA????????????”

Tak dapat dibendung lagi, Sahur meneteskan air mata mendengar ucapan Mahen barusan. Ini pertama kali nya bagi Sahur mendapati Mahen meledak-ledak seperti ini.

Mahen membuang wajah kearah lain, sadar akan kepedihan Sahur ketika mendengar bentakan dari nya, Mahen terlanjur hancur melihat mata indah itu menangis. Setelah amarah dalam hati nya mereda, Mahen menatap nanar lelaki mungil didepan nya ini.

Mahen membawa Sahur kedalam pelukan nya sedalam-dalam mungkin. “Maaf, Sa” Mahen mengusap lembut bahu lemah yang bergetar hebat.

“Sa, bersabar ya?”

“Lu masih punya gua di dunia ini”

“Gua adalah rumah lu. Anggap gue ini rumah yang paling aman dari segala rumah yang menyiksa selama ini”

“Jangan lari. Kasihan fisik dan batin lu”

“Jangan lari lagi”

“Singgah ke persembunyian ini. Ntah sekedar melampiaskan emosi, atau bercerita gimana tersiksa nya lu dalam menjalani hidup”

“Curahkan semua lara yang mampu dan sanggup lu berikan. Dengan senang hati gue terima. Selagi semua nya masih bisa di tumpahkan ke gue”

Sahur selalu saja kehabisan kata untuk menggambarkan betapa beruntung dan bersyukur nya ia saat Mahen hadir di waktu yang tepat. Sahur hanya bisa membalas pelukan Mahen perlahan lalu membenamkan air mata dan seluruh beban nya di bahu kukuh itu.

#Prolog

Di pagi hari yang cerah, seorang kawula muda masih terlelap. Semburat cahaya fajar menyelinap masuk ke dalam kamar melalui kaca jendela, menyinari wajah nya yang tampan sekaligus cantik.

Sahur Ramadhan, mahasiswa yang terlihat seperti bukan mahasiswa ini masih bernaung di alam mimpi. Untung nya hari ini Sahur mendapati kelas siang untuk kuliah nanti. Tentu ia memanfaatkan waktu senggang seperti ini dengan tidur.

Di sela-sela keheningan pagi, tiba-tiba Sahur terdengar suara intro lagu dangdut yang sangat keras.

“Calya! Suara TV nya kecilin sedikit! Gua masih ngantuk!” teriak Sahur setengah sadar. Namun tidak ada respon dari adik perempuan nya, Renjana Calya.

Janganlah kau tanyakan besarnya cintaku Ku persembahkan untukmu, hanya kepadamu Oh dan janganlah kau ragukan luasnya cintaku Yang putih tulus untukmu, hanya kepadamu

“CALYA! BERISIK! MATIIN GAK!” Sahur muak. Ia terpaksa bangkit dari tidur nya lalu menggebrak dinding kamar yang terbuat dari kayu triplek lumayan tebal. “CALYA GAUSAH PURA PURA GAK DENGER”

Namun tidak ada respon apa-apa. Selang beberapa detik kemudian, Sahur sadar bahwa suara musik dangdut yang begitu keras ini bukan berasal dari dalam rumah nya. Melainkan dari rumah tetangga.

Dari balik jendela kamar nya, Sahur menatap rumah sebrang dengan mata yang berapi-api. Mata nya terfokus pada anak laki-laki yang sebaya dengan nya sedang mencuci motor dan menikmati alunan musik dangdut.

Sahur mengepalkan tangan lalu berjalan cepat turun ke lantai bawah, berniat ingin melabrak Mahen Andromeda, tetangga nya yang hobi dangdutan pagi-pagi. Nggak sekali, dua kali tidur pagi yang rutin Sahur laksanakan terganggu oleh tetangga nya itu.

Saat melewati ruang makan, Ayah, Bunda dan Calya yang sedang sarapan menatap Sahur bingung.

“Hur mau kemana?? Eh, mukanya kenapa jelek banget begitu??” tanya Ayah. Sahur tidak menghiraukan panggilan Ayah dan berlalu begitu saja.

“WOI MATIIN GAK SPEAKER LO!” teriak Sahur dengan kencang. Ia berjalan mendekati batas pagar rumah nya.

“JAMET! LO DENGER GAK GUA NGOMONG?????” yang di teriaki masih sibuk berjoget sambil mengarahkan semprotan air ke arah motor nya.

Ketika mata mereka berdua bertemu, seolah suasana hening. Sahur masih menatap Mahen dengan seluruh amarah nya, sedangkan Mahen tanpa disadari terpesona. Terpesona akan lelaki mungil yang sedang mencak-mencak ke arah nya, kelihatan baru bangun tidur karna surai coklat nya seperti orang habis kesentrum.

Tanpa disangka sangka, saking terpesona nya Mahen tidak sengaja mengarahkan semprotan yang bertegangan lumayan kuat ke wajah Sahur.

Habis sudah. Seluruh wajah, bahkan merembet sampai ke badan Sahur basah semua.

“ASTAGFIRULLAH!” teriak Calya dan Ayah secara bersamaan dari ambang pintu rumah.

Sahur pun mematung setelah di semprot air oleh Mahen. “EH, MAAFIN!” setelah nya Mahen kabur ke dalam rumah.

Ayah dan Calya kewalahan menahan Sahur yang ingin mengejar Mahen lalu meberi balasan atas apa yang ia perbuat barusan.

“Lu tunggu pembalasan gua, Mahen!” ucap Sahur dalam hati nya.