Bersabar
“Sa, ada apa? Kenapa?”
Yang ditanyai hanya menggeleng pelan. Sedari tadi setelah sholat ashar berjamaah di kamar Mahen, ia mencoba segala cara agar Sahur mau membuka suara. Namun tak digubris. Kesayangan nya itu hanya menunduk memandangi tikar sholat di bawah kaki nya.
“Masalah kuliah ya Sa? Atau masalah keluarga?” ujar Mahen sehati-hati mungkin. Sahur tampak seperti boneka kaca yang mudah pecah jika tersentil sedikit saja.
Sunyi. Yang terdengar hanya helaan nafas mereka satu sama lain.
“Sebenar nya─” nafas Sahur tercekat saat ia berusaha menumpahkan beban yang ia rahasiakan rapat-rapat dari siapapun di hadapan Mahen.
“Selama ini gue dapat perilaku kasar dari Bunda secara tidak langsung. And no one notice that. Sekalipun apatis nya Bunda terpampang jelas dihadapan keluarga, ga ada yang berani negur atapun sekedar bertanya kenapa Bunda begitu. Bahkan Ayah seolah nggak sanggup melakukan sesuatu....”
“Lu dikasarin gimana sama Bunda lu?”
“Kasar nya di chat”
“Mana, sini gue baca chat nya”
Sahur merogoh saku celana jeans lalu menunjuk-kan isi chat nya dengan Bunda. Tak butuh beberapa menit membaca semua pesan yang berisi 100% ungkapan kebencian itu, Mahen buru-buru menghapus history chat tersebut. Sakit. Rasanya seperti dihujam puluhan pisau.
“Mahen kenapa dihapus??????????”
“Maaf kalo gue lancang, Sa. Tapi Bunda lu emang kelewatan. Kalau emang chat dari dia yang bikin lu jadi terpuruk selama ini, ya pantes nya di hapus. Buat apa di simpan”
“Tapi gue bersyukur, itu tanda nya Bunda masih perduli kan sama gue, Hen? Kalau dia nggak perduli mungkin dia nggak sudi nge-chat gua, Mahen. Dan mungkin aja gue udah di tendang keluar dari rumah. Gue sayang Bunda. Memang gue sebagai anak sering gak tau diri” ujar Sahur setengah meratap.
“Sa, gue yang bukan darah daging nya aja bisa ngerasain kebencian mendalam dari ketikan Bunda lu. Gue bingung nya, lu berbuat apa dulu sebelum kecelakaan besar dan Amnesia sampai dapat perilaku segini kejam nya, dari Bunda kandung sendiri lagi. Coba bicarain ini ke Ayah lu, gue yakin dia pasti bisa lurusin ini semua dan mengerti posisi lu”
Sahur menggeleng keras. “Sering kali Ayah sama Bunda ribut dan cekcok besar hanya karna kecerobohan gua, Hen. Lagi pun sedari gue di vonis lupa ingatan, seperti ada yang mati di dalam sini,” Sahur menunjuk dadanya sendiri, “semakin gue mencoba mencari tau, gue pun semakin merasa terpuruk atas ini semua dan merasa nggak berguna hidup didunia. Kenapa pas kecelakaan dulu gue gak di ambil Allah aja sekalian....”
“SAHUR! JAGA OMONGAN LU! HIDUP ITU ANUGRAH! MUDAH BAGI LU BUAT MILIH MATI IYA????????????”
Tak dapat dibendung lagi, Sahur meneteskan air mata mendengar ucapan Mahen barusan. Ini pertama kali nya bagi Sahur mendapati Mahen meledak-ledak seperti ini.
Mahen membuang wajah kearah lain, sadar akan kepedihan Sahur ketika mendengar bentakan dari nya, Mahen terlanjur hancur melihat mata indah itu menangis. Setelah amarah dalam hati nya mereda, Mahen menatap nanar lelaki mungil didepan nya ini.
Mahen membawa Sahur kedalam pelukan nya sedalam-dalam mungkin. “Maaf, Sa” Mahen mengusap lembut bahu lemah yang bergetar hebat.
“Sa, bersabar ya?”
“Lu masih punya gua di dunia ini”
“Gua adalah rumah lu. Anggap gue ini rumah yang paling aman dari segala rumah yang menyiksa selama ini”
“Jangan lari. Kasihan fisik dan batin lu”
“Jangan lari lagi”
“Singgah ke persembunyian ini. Ntah sekedar melampiaskan emosi, atau bercerita gimana tersiksa nya lu dalam menjalani hidup”
“Curahkan semua lara yang mampu dan sanggup lu berikan. Dengan senang hati gue terima. Selagi semua nya masih bisa di tumpahkan ke gue”
Sahur selalu saja kehabisan kata untuk menggambarkan betapa beruntung dan bersyukur nya ia saat Mahen hadir di waktu yang tepat. Sahur hanya bisa membalas pelukan Mahen perlahan lalu membenamkan air mata dan seluruh beban nya di bahu kukuh itu.