Detik demi detik. Menit demi menit. Rasa bersalah kian menghantui Sahur dan tak sedikit pun lesap dari benak nya. Seluruh kekuatan Sahur tandas menyaksikan Calya, harta satu satu nya yang paling berharga terbaring tak sadarkan diri didalam ruangan gawat darurat Rumah Sakit Tentara sore ini.
Ditemani Keenan, Sahur berdiri mematung tepat didepan pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.
Ditangannya, Sahur menggenggam erat erat ponsel milik Calya. Jaga jaga jika Bunda menelepon. Namun sayang, Bunda sudah tahu duluan perihal ini oleh Joshua sebelum nya, saat Calya pertama kali sampai di rumah sakit.
“Sahur, lu belum makan dari siang. Gua pergi beliin lu roti dulu ya ke kantin bawah?” ujar Keenan.
“Gue gak laper” jawab Sahur pendek.
“Jangan bandel kalo dibilangin. Gua pergi sebentar doang kok. Seenggaknya perut lu ada isi nya....”
Sahur memilih bungkam. Terlalu menguras energi jika harus berdebat dengan Keenan disituasi seperti sekarang.
Keenan mengamatinya tanpa berkomentar. Keenan kelewat khawatir dengan tubuh rapuh dihadapan nya ini. Tubuh itu mudah jatuh sakit.
Tanpa pikir panjang, Keenan pun pergi meninggalkan Sahur untuk membeli roti di kantin lantai bawah.
Terdengar suara langkah kaki beradu dengan marmer lantai rumah sakit. Terburu buru, langkah tersebut dihiasi isak tangis pilu seorang Wanita.
Itu Bunda.
Tergopoh-gopoh Bunda menggapai pintu ruang gawat darurat, sampai akhirnya Ia berlalu ke dalam ruangan tanpa menghiraukan Sahur yang berdiri tepat dihadapan nya.
Bunda menghampiri Calya. Bunda menangis. Hati nya remuk redam melihat kondisi anak yang paling disayangi nya terbaring lemah dengan lengan kiri patah, lecet parah dikedua kaki dan luka berdiameter cukup besar bersarang pada dahi buah hati nya.
Bunda murka. Amarah nya menguar beriak riak seiring tangis nya kian pecah ditengah keramaian ruang gawat darurat tersebut.
Sampai pada titik, Bunda terdiam. Menghapus kasar air mata yang menetes tak henti henti. Ini semua salah Sahur, pikir nya.
Bunda keluar dari ruang rawat darurat dan menemukan Sahur.
Bunda menarik kasar lengan anak laki-laki nya. “IKUT SAYA!”
Dibawa nya Sahur sendikit menjauh dari pintu ruang gawat darurat menuju lobby, kemudian satu tamparan keras mendarat tepat pada wajah Sahur.
Tubuh rapuh itu luruh ke lantai dingin rumah sakit.
Bunda meraih kerah hoodie Sahur. “ANAK PEMBAWA SIAL! SEHARUSNYA KAMU SAJA YANG CELAKA!” teriak nya didepan wajah Sahur.
Aktifitas lobby rumah sakit terhenti seketika atas kericuhan yang dibuat Bunda. Seluruh atensi tertuju pada mereka berdua.
Bunda melontarkan sumpah serapah pada Sahur dihadapan banyak orang. Belum lagi Bunda bermain fisik, mendorong, menjambak, bahkan hampir mencekik Sahur. Tak ada satu orang pun yang berani melerai.
“LIHAT APA YANG KAMU PERBUAT ANAK PEMBAWA SIAL????!!!! DARAH DAGING SAYA CELAKA DAN HAMPIR MATI DIDALAM SANA! KENAPA BUKAN KAMU!” teriak nya penuh penekanan.
Sahur tidak melawan sedikit pun. Pikir nya Ia pantas mendapat perlakuan ini, Ia pembawa sial.
“BERDIRI KAMU ANAK SIALAN!”
“SATU HAL YANG KAMU HARUS TAU! SAYA MENYESAL MENAMPUNG KAMU DIKELUARGA SAYA! KAMU BUKAN DARAH DAGING SAYA!” satu tamparan lagi sukses mendarat diwajah Sahur.
“SEMUA NYA HANCUR SEMENJAK KAMU HADIR! KELUARGA SAYA HANCUR KAMU TAHU?!!!!! PANTAS NYA KAMU MATI SAJA DALAM KEBAKARAN ITU BERSAMA IBU MU!!!”
Dari kejauhan dapat Keenan lihat, orang orang tengah mengerumuni Sahur dan Bunda nya. Keenan berlari secepat mungkin ke arah Sahur untuk menghadang tamparan selanjutnya.
Keenan menarik lengan Sahur mundur dari hadapan Bunda, dan menyembunyikan nya dibalik punggung nya. “Tante cukup! Ini tempat umum! Tolong selesaikan masalah ini nanti di rumah!”
“Kenapa kamu bela dia, Keenan?” sorot mata amarah itu beralih menatap Sahur dibalik punggung tegap Keenan.
“Pacar homo kamu yang keberapa si Keenan ini??? Jangan kamu fikir saya dan suami saya tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini, anak pembawa sial. Kamu membawa laki laki masuk ke rumah lewat jendela kamar”
Air mata Sahur tak terbendung lagi, pertahanan nya ambruk. Hal sensitif seperti ini, Bunda ucapkan didepan orang ramai?
“Stop! Ini udah kelewatan! Orientasi sexual seseorang gak perlu tante seret seret ke dalam masalah ini!”
Keadaan semakin ricuh, adu mulut Keenan dan Bunda tak dapat dihentikan siapapun, sampai akhirnya pihak keamanan rumah sakit datang untuk membubarkan keramaian dan melerai kekacauan.
Bunda diamankan oleh pihak keamanan sedangkan Keenan membawa Sahur keluar menjauh dari keramaian. Sahur meremat erat genggaman tangan Keenan. Tamat sudah riwayat nya, ternyata selama ini kedua orang tua Sahur tahu perihal Mahen.
Disisi lain koridor, seorang lelaki berpakaian rumah sakit lengkap yang akan menjalankan sebuah terapi menatap nanar keributan itu. Mahen menangis pilu membisu, melihat perilaku yang tak sepantas nya Sahur dapatkan. Terlebih lagi diri nya tak bisa jadi tameng pelindung untuk Sahur.
Mahen mengutuk penyakit nya berpuluh puluh kali.