apricothyuck

litani

#Litani.

Saudara, para tetangga, teman seangkatan, kaprodi, dekan dan perwakilan segenap staff Universitas Neo Dream hadir pagi ini dalam acara penyelenggaraan dan pemakaman jenazah Mahen. Tak sedikit pula mahasiswa dari kampus lain turut hadir di rumah duka.

Kini sudah pukul 09.00 pagi, pertanda tersisa 1 jam lagi jenazah Mahen masih berada di kediaman sebelum di kubur nanti.

Terduduk Sahur di hadapan tubuh kaku Mahen. Air mata Sahur tak kunjung beristirahat, Ia terus mengalir tak tertahan. Sementara tubuh ringkih milik Sahur tak sanggup berdiri, tenaga nya terkuras habis. Ia masih mengenakan jaket denim milik Keenan yang berlapis sweater berlumuran darah Mahen.

Sahur tak mau beranjak dari tempat Ia duduk, diri nya menolak pergi dari sisi Mahen. Bahkan saat sesi pemandian jenazah tadi Sahur turut memandikan, begitu juga sesi pemasangan kain kafan.

Di antara banyak nya manusia-manusia yang hadir, Sahur merasa bahwa mereka semua turut merasakan kesedihan mendalam atas kepergian Mahen. Terutama Mama dan Biru. Selama Sahur mengenal Mahen dan keluarga, baru kali ini Sahur melihat Mama Mahen begitu dekat dengan Biru.

Bagaimana tidak? Hanya mereka berdua yang bisa saling menguat kan satu sama lain di saat-saat seperti ini, bahkan seterus nya di masa depan nanti.

Di samping kiri Sahur, ada Mama Mahen yang bersandar pada bahu Biru sembari menggenggam erat lengan anak satu-satu nya kini. Mama sudah berhenti menangis, Ia hanya menatap getir jasad anak sulung nya sementara Biru tak henti-henti menenangkan Mama dengan kalimat-kalimat penenang.

Apa Biru tidak sedih atas kepergian Mahen? jelas, Biru merasa dia lah adik paling tidak berguna di dunia. Segala ketidaktahuan Biru perihal penyakit Mahen, membuat Biru mengutuk diri berkali-kali. Namun semua terlambat, Mahen sudah tidak perlu merasa sakit apa-apa lagi. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mahen, di mana segala beban hilang dan pergi.

Sebuah suara menyadarkan Sahur dari lamunan, itu Keenan. “Saa, pulang dulu. Bersih-bersih terus ntar balik lagi ke sini. Sebentar lagi Mahen bakal di kuburin, ga mungkin lu pakai jaket denim gua terus menerus”

Sahur diam. Tak ada jawaban.

Keenan mengulurkan tangan. “Sini gua bantu berdiri dan anterin lu ke rumah” tawar Keenan.

Sahur mengangguk dan berdiri dari duduk. Sekilas Ia menatap jenazah Mahen yang di tutupi kain putih. Dalam hati, Sahur berucap tungguin gue, gue bakal anter lu sampai ke tempat peristirahatan lu.


“Gua tunggu di teras. Cepet ya mandi nya, kita di kejar waktu” suara Keenan menginterupsi Sahur.

Sahur berjalan lemas naik ke lantai atas bahkan hampir terjatuh akibat tersandung. Tatapan Sahur menerawang, Ia mencari sosok Calya sedari tadi. Dimana Calya?

Saat memasuki kamar, Sahur temukan Calya tengah duduk di kasur. Atensi Sahur teralih pada baju koko putih dan bawahan yang sudah Calya siapkan.

Calya menatap Sahur lekat sebelum akhirnya berhambur memeluk Sahur. Calya membawa kepala Sahur pada bahu nya, lalu berkata “Gapapa, ini hari bahagia Kak Mahen. Abang yang sabar, ya?”

Sahur dan segenap rasa sedih kehilangan Mahen pecah kembali akibat ucapan Calya barusan. “Gue ga sanggup, Cal. Gue bahkan gatau harus ngelakuin apa selain nangis dari tadi malem”

Calya mengangguk sembari terus mengusap punggung Sahur. “Iya, Calya ngerti”

Calya melepas pelukan, lalu menangkup wajah Sahur. “Sekarang Abang mandi dulu, bersih-bersih dan pakai baju yang Calya siapin. Nangis nya di tunda dulu, Bang Mahen pasti sedih kalau liat Abang sedih. Udah dulu nangis nya, ya?” pinta Calya.

Sahur mengiyakan dan segera mengusap air mata.


Di tempat pemakaman umum, sudah tersedia satu liang lahat untuk Mahen. Tempat ini harus di tempuh dengan jarak yang cukup jauh, akibat tak ada lagi tanah kosong pada tempat pemakaman sekitar rumah.

Sesi pemakaman di mulai sesuai syariat agama islam. Ada Biru, Zuhri, Keenan, dan Sean. Sahur sendiri tidak di anjurkan untuk ikut turun ke liang lahat akibat kondisi tidak memungkinkan.

Kata-kata tak cukup untuk mengungkapkan rasa sedih mendalam Mama Mahen begitu juga Biru. Seseorang yang sudah di jaga sebaik mungkin tetap pergi meninggalkan mereka. Akan tetapi, mungkin sampai di sini lah perjalanan Mahen, ini saat nya lembaran baru untuk Biru dan Mama Mahen memperbaiki hubungan.

Zuhri sedari tadi pagi sampai saat ini tidak berhenti menangis. Ia berlari dan menangis di sepanjang jalan menuju rumah Mahen. Bagaimana tidak? Kemarin sore mereka masih berjumpa dan bercanda satu sama lain. Mengenakan baju kaos dan celana pendek, Zuhri mendatangi rumah duka di pagi buta sambil menangis menjerit-jerit.

Kini, Sahur menarik napas berat ketika liang lahat akan di tutup. Beberapa kerabat Mahen menangis keras dan menambah suasana semakin haru di tengah cerah nya cuaca hari ini.

Acara pemakaman usai setelah doa bersama, menyisakan beberapa orang terdekat dan selebihnya sudah kembali.

Tersisa teman-teman Sahur dan Mahen serta Calya dan Mama Mahen di pemakaman. Rasanya Mama tak ingin meninggalkan anak sulung nya sendirian di sini.

Mama Mahen berjongkok menyamakan posisi pada kayu nisan Mahen. “Abang nanti datang ke mimpi Mama, ya? Mama rindu. Bahkan ini belum terhitung sehari, tapi Mama rindu sama kamu”

Pecah haru kembali terjadi, orang-orang yang tersisa menangis. Sahur langsung mengusap-usap punggung Mama Mahen. Sahur saja sudah sehancur ini, apalagi Mama Mahen.

Setelah nya, semua benar-benar pergi. Tersisa Sahur sendirian di hadapan makam Mahen. Dari kejauhan, Keenan tetap memantau. Keenan ingin memberi ruang untuk Sahur dan Mahen.

“Andai kata gue tau tadi malam adalah malam terakhir dari kisah kita berdua, gue akan senenantiasa memohon sampai Tuhan luluh, untuk membuat malam itu kukuh. Perjuangan lu emang berhenti sampai di sini, tapi gue mau ucapin terima kasih udah ada di hidup gue”